Wahabi Orang Goblok ! (Sebuah Pencerahan)



    "Wahabi Orang Goblok !" Demikian ungkapan seorang Habib -semoga Allah menjaganya dalam kebaikan dan menunjukan kita ke jalan yang lurus-. Sang Habib berkata :

    “Cuma kurang ajarnya wahabi begitu, wahabi bilang bapak-ibu Nabi dalam neraka, ini orang-orang goblok, orang-orang tidak ngerti hadis”. (lihat menit 11.14)

       Sebenarnya tidak perlu mengatakan orang yang berbeda pendapat dengan kita dengan julukan “goblok”, “tidak ngerti hadis”, atau tuduhan-tuduhan senada lainnya.

      Sementara sang Habib sendiri ketika mengucapkan nama seorang perawi salah mengucapkan. Seharusnya Hammaad bin Salamah, lantas sang Habib mengatakan “Hammad bin Salaamah” (panjang-pendeknya keliru, karena seharusnya Hammaad yang panjang dan Salamah pendek, akan tetapi sang Habib malah memendekkan Hammad, dan memanjangkan Salaamah). Kekeliruan ini mengesankan “ketidakakraban” sang habib dengan ilmu hadis, terlebih lagi untuk berbicara tentang detail para perawi hadis.

        Sang Habib juga mengatakan bahwa kedua orang tua Nabi adalah termasuk “ahlul fitrah” (dengan meng-kasrahkan huruf fa’), padahal yang benar adalah “fatrah”, dengan mem-fathahkan huruf fa’, sebagaimana datang dalam al-Quran.

    Demikian juga sang Habib salah baca ayat, seharusnya:

    ﴿وَمَا كُنَّا مُعَ ذِّبِّيَ حَتََّّٰ نَبۡعَثَ رَسُولٗ ﴾

    Namun sang Habib malah membacanya dengan: وَمَا كُنَّا

    ا ل مُ عَ ذِّبِّيَ , dengan menambahi alif-lam pada mu’adzdzibiin.


    Berikut ini komentar tentang “pernyataan-pernyataan” sang Habib -hafizohullah- , semoga Allah memberi kita semua petunjuk kepada jalan yang lurus.

    Prolog :

        Status orang tua Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjadi topik perbincangan para ulama sejak dahulu. Sebagian mereka menggolongkannya dalam pembahasan akidah (seperti Imam Abu Hanifah dalam kitabnya al-Fiqh al-Akbar), namun kebanyakan ulama hanya membahasnya ketika mensyarah (menjelaskan) hadis-hadis yang berkaitan dengan hal tersebut (seperti hadis Anas bin Malik tentang ayah Nabi di neraka dan hadis Abu Hurairah tentang Nabi yang tidak diizinkan untuk memintakan ampunan bagi ibunya). Adapun para ahli tafsir mereka biasa membahas permasalahan ini ketika menafsirkan firman Allah ayat 113 dari surat at-Taubah.

       Jika kita menghimpun pernyataan para ulama hingga zaman As-Suyuthi rahimahullah (sekitar abad ke-10 Hijriyyah), akan kita temukan bahwa mayoritas ulama menyatakan bahwa orang tua Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memang wafat dalam kondisi musyrik dan kesudahan keduanya adalah Neraka. Hanya segelintir ulama –di antaranya As-Suyuthi- yang berpendapat bahwa orang tua Nabi tidak berkesudahan di Neraka, atau bahwa keduanya kelak akan dihidupkan kembali untuk memeluk Islam sehingga dapat masuk Surga.

        Namun anehnya, beberapa tahun belakangan ini muncul beberapa da’i provokator yang sepertinya menutup mata dari pendapat mayoritas ulama, dan malah serta-merta memprovokasi masyarakat dengan memberikan kesan bahwa siapa saja yang menyatakan bahwa orang tua Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan berakhir di Neraka adalah goblok nan tidak cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Subhaanallah!

        Provokasi da’i-da’i tersebut rupanya berhasil, sehingga sebagian masyarakat awam akhirnya mengambil tindakan, di antaranya mengusir sebagian da’i yang berpendapat bahwa orang tua Nabi wafat dalam kondisi musyrik. Semoga Allah mengampuni dan memberi petunjuk bagi mereka kepada jalan-Nya yang lurus.

        Seandainya provokasi tersebut ingin dibalas, kita bisa mengatakan sebaliknya, bahwa “Keyakinan bahwa ayah Nabi dan seluruh nenek moyang Nabi tidak ada yang kafir adalah akidah Syiáh”.

    Ar-Raazi (wafat 606 H) berkata :

    قَالَتِ الشِّيعَةُ: ا نَّ اَحَدًا مِنْ ا بَاءِ الرَّسُولِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَاَجْدَادِهِ مَا كَانَ كَافِرًا

    وَاَنْكَ رُوا اَنْ يُقَالَ ا نَّ وَالِدَ ا بْرَاهِيمَ كَانَ كَافِرًا وَذَكَرُوا اَنَّ ا زَرَ كَانَ عَمَّ ا بْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ

    “Syiáh berkata, ‘Sesungguhnya tidak seorangpun dari ayah dan kakek-kakek Nabi shallallahu álaihi wasallam yang kafir.’

       Mereka (Syiáh) juga mengingkari bahwa bapak Nabi Ibrahim álaihis salaam kafir, dan mereka berkata bahwa Azar (yang disebutkan dalam Al-Qur’an) adalah paman Nabi Ibrahim álaihis salaam (bukan bapaknya)” [Tafsir Ar-Raazi (13/32)]

       Kemudian, jika menurut sang Habib setiap orang yang menyatakan orang tua Nabi  wafat dalam keadaan musyrik adalah Wahabi yang goblok, maka berarti puluhan ulama (termasuk ulama mazhab Syafi’i) adalah sama dengan Wahabi yang goblok, di antaranya adalah Imam Al-Baihaqi, Imam An-Nawawi, Imam Ibnu Katsir, dan Imam Adz-Dzahabi. Ya, sesuai pernyataan sang Habib -hafizohullah- mereka semua ini “goblok tidak ngerti hadis”. Padahal jajaran nama di atas adalah deretan ulama tokoh besar mazhab Syafi’i dan termasuk ulama pionir ilmu hadis!!

       Berikut ini daftar para ulama Islam dari berbagai mazhab fikih dan dari berbagai kurun (hingga abad ke 9/awal abad ke 10) yang menyatakan bahwa orang tua Nabi  wafat dalam keadaan musyrik.

    Pertama : Ulama Mazhab

    Al-Qadhi Íyaadh (544H)

    Beliau mengatakan dalam Ikmaal al-Mu’lim bi Fawaidi Muslim (1/591) bahwa Nabi hendak menghibur orang yang sedih tersebut, dengan memberitahukan kepadanya bahwa nasib ayah Beliau sama dengan nasib ayahnya, yakni kesudahan keduanya adalah di neraka.

    Abu Hanifah (150H)

    Beliau mengatakan bahwa kedua orang tua Nabi meninggal di atas kekafiran. (Demikian dinukil oleh Ibnu Ábidin dalam Radd Al-Muhtaar alaa ad-Durr Mukhtar (3/185), dan dinukil pula oleh Ali al-Qaari dalam Adillah Mu’taqad Abi Hanifah al-A’zham fii Abawai ar-Rasuul ‘alaihis sholaatu was salaam (1/37)

    Al-Mawardi (450H)

    Beliau berdalil akan sahnya pernikahan orang-orang kafir dengan pernikahan antara kedua orang tua dan nenek moyang Rasulullah.

    (Al-Haawi al-Kabiir, 9/301 dan 11/284)df

    Abu Ali Al-Hasyimi Al-Bagdadi (428H)

    (Al-Irsyaad ila Sabiil ar-Rasyaad, 285)

    Ibnu Majah (273H)

    Dalam Sunan-nya, beliau membawakan hadis yang mengisahkan bahwa Nabi  menziarahi kuburan ibunya dalam: “Bab: Tentang menziarahi kuburan orang-orang musyrik” (Sunan Ibnu Maajah, no. 1572)

    Abul Ábbas Al-Qurthubi (656H)

    (Al-Mufhim li maa Asykala min Talkhiis Kitaab Muslim, 1/46-461)

    At-Thahawi (321H)

    Beliau menyebutkan bahwa Nabi ditegur ketika memohonkan ampunan untuk ibunya. (Syarh Musykil al-Atsar 6/285)

    Al-Baihaqi (458H)

    Beliau mengatakan: Bahwa orang tua Nabi adalah penyembah berhala.

    (Dalail An-Nubuwwah, Al-Baihaqi, 1/192)

    Beliau juga mengatakan bahwa kedua orang tua Nabi adalah musyrik. (As-Sunan

    Abul Muzhaffar, Yahya bin Hubairah (560H)

    Beliau mengatakan:bahwa ayah Nabi di Neraka.

    (Al-Ifshaah án Ma’aani as-Shihaah, 5/355-356)

    An-Nasa’í (303H)

    Dalam kitab Al-Mujtaba dan As-Sunan al-Kubra, beliau memberi judul bagi hadis yang mengisahkan bahwa Nabi  menziarahi kuburan ibunya dengan judul : ِّ بَْق ُةَرَيَِّز

    ال مُ شرِّ ك

    “Ziarah kuburan orang musyrik” al-Kubra, 7/308, hal 14077)

    Al-Qarafi (684H)

    Beliau mengisyaratkan bahwa kedua orang tua Nabi  di neraka. (Syarh Tanqih al-Fushul, hlm. 297)

    Beliau juga menyatakan bahwa setiap yang meninggal di zaman Jahiliyah maka ia akan berakhir di Neraka.

    As-Sarakhsi (483H)

    Beliau berdalil akan sahnya pernikahan orang-orang kafir dengan pernikahan antara kedua orang tua dan nenek moyang Rasulullah .

    (Al-Mabsuuth, 4/224 dan 30/289)

    Al-Juwaini (478H)

    Beliau berdalil akan sahnya pernikahan orang-orang kafir dengan pernikahan antara kedua orang tua dan nenek moyang Rasulullah .

    (Nihaayah al-Mathlab fi Diraayah al-Madzhab, 12/289)

    Ibnul Jauzi (597H)

    Beliau menyatakan bahwa ayah Nabi  meninggal dalam keadaan kafir, serta menyatakan bahwa hadis yang menyebutkan bahwa orang tua Nabi  akan hidup kembali adalah hadis maudhu’. (Al-Maudhu’aat, 1/283)

    Al-Kasani (587H)

    Beliau menyatakan bahwa kedua orang tua Nabi  kafir. (Badai’ ash-Shanai’ fii Tartiib asy-Syarāi’, 2/272)

    Abul Husain Al-Imrani Al-Yamani (558H)

    Beliau berdalil akan sahnya pernikahan orang-orang kafir dengan pernikahan antara kedua orang tua dan nenek moyang Rasulullah .

    (Al-Bayaan fi Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i, 9/329)

    Abu Muhammad Ibnu Qudamah (620H)

    (Al-Mughni, 7/172)

    Al-Manbaji 686H

    Beliau memberi isyarat bahwa ibu Nabi  tidak beriman.

    (Al-Lubab fi al-Jam’ baina as-Sunnah wa al-Kitab 2/133)

    Ar-Rafi’i (623H)

    Beliau berdalil akan sahnya pernikahan orang-orang kafir dengan pernikahan antara kedua orang tua dan nenek moyang Rasulullah .

    (Al-Aziiz syarh al-Wajiiz, 8/97)

    Abul Faraj Ibnu Qudamah (682H)

    (Asy-Syarh al-Kabiir, 7/587)

    An-Nawawi (676H)

    Beliau menyatakan bahwa orang tua Nabi  wafat dalam kekafiran.

    (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaaj, 7/45)

    Najmuddin, Sulaiman bin Abdul Qawiy (716H)

    Lihat: Al-Intishaaraat al-Islaamiyyah fi Kasyf Syubah an-Nashraniyah, 2/714)

    Ibnur Rif’ah (710H)

    Beliau berdalil akan sahnya pernikahan orang-orang kafir

    Ibnu Taimiyyah (728H)

    Beliau mengambil kesimpulan bahwa kedua orang tua dengan pernikahan antara kedua orang tua dan nenek moyang Rasulullah (Kifaayah an-Nabiih, 13/210)

    Nabi wafat dalam kekafiran. (Majmuu’ al-Fataawa, 4/325)

    Ad-Dzahabi (748H)

    Beliau sangat mengingkari hadis yang berisi keterangan bahwa orang tua Nabi  dibangkitkan kembali untuk beriman. Beliau berdalil dengan sahihnya status hadis yang menerangkan bahwa Nabi  dilarang dari meminta ampunan untuk ibunya. (Mizan al-I’tidal, 2/684)

    Ibnul Qayyim (751H)

    Beliau menyatakan bahwa setiap yang meninggal dalam kemusyrikan (bukan di atas agama Nabi Ibrahim) sebelum Nabi Muhammad  diutus, maka akhirnya adalah di Neraka, karena telah tegak hujjah baginya. (Zaad al-Ma’aad, 3/599)

    Ibnu Katsir 774H

    Beliau menyatakan bahwa kedua orang tua dan kakek Nabi  termasuk penghuni Neraka.

    (Al-Bidayah wa an-Nihayah, 2/342)

    Burhanuddin Ibnu Muflih (884H)

    (Al-Mubdi’ fi Syarh al-Muqni’, 6/176)

    Ibnul Khathib Al-Yamani (Ibnu Nuruddin As-Syafií) 825H

    Beliau menyatakan bahwa pendapat yang mengklaim bahwa orang tua Nabi  dihidupkan kembali, lalu kemudian beriman dan masuk Surga, adalah sikap ghuluw (ekstrem) dalam agama yang dapat berakibat kekufuran dan kesesatan. (Taisiir al-Bayaan li Ahkaam al-Qurán, 3/382)

    Ibnu Hajar Al-Asqalani (852H)

    Beliau menyatakan bahwa ibu Rasulullah  wafat dalam keadaan musyrik. Adapun kakek dan ayah beliau , Ibnu Hajar menyatakan bahwa keduanya wafat pada masa fatrah dan akan diuji, sembari berharap bahwa keduanya akan lulus ujian keimanan tersebut.

    (Fath al-Bari, 8/508, Al-Ujaab fi Bayaan al-Asbaab, 1/372, dan Al-Ishaabah, 7/201)

    Al-Biqa’i (885H)

    Beliau menyatakan bahwa kesudahan Ahlul Fatroh yang wafat dalam keadaan tidak menganut agama Nabi Ibrahim adalah di neraka, diantaranya adalah ayah Nabi. (Nazhm ad-Durar fi Tanaasub al-Ayaat wa as-Suwar, 16/332)

    Kedua : Ahli Tafsir

    Ahli tafsir yang berpendapat bahwa orang tua Nabi meninggal dalam kondisi musyrik sangatlah banyak. Silahkan merujuk perkataan mereka ketika menafsirkan firman Allah :

    "Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni Neraka Jahanam." (Q.S. At-Taubah: 113)

    Mereka semua menyebutkan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah tentang Nabi  yang tidak diizinkan untuk memohon ampunan bagi ibunya. Hal ini karena ibunda beliau wafat dalam kondisi musyrik.

    Para ahli tafsir tersebut :

    (1) Muqatil bin Sulaiman (150H). [Tafsir Muqaatil bin Sulaiman (2/199)]

    (2) Ath-Thabari (310H). [Tafsir ath-Thabari (14/512 dan 2/560)]

    (3) Abul Laits As-Samarqandi (373H). [Bahr al-Úluum (2/91)]

    (4) Abu Ishaq Ats-Tsa’labi (427H) [Al-Kasyf wa al-Bayaan án Tafsiir al-Qurán (5/100-101)]

    (5) Abu Muhammad Al-Andalusi Al-Qurthubi (437H) (Al-Hidaayah ilaa Buluug an-Nihaayah (4/3171-3172)]

    (6) Al-Mawardi (450H) [An-Nukat wa al-Úyuun 2/409)

    (7) Al-Wahidi (468H) [Al-Wasiith fi Tafsiir al-Qur’an al-Majiid (2/528)]

    (8) Abul Muzhaffar As-Sam’aani (489H) [Tafsiir al-Qurán (2/352-353)]

    10-88

    (9) Al-Baghawi (510H) [Maáalim at-Tanziil fi Tafsiir al-Qurán (2/394)]

    (10) Az-Zamakhsyari (538H) [Al-Kassyaaf (2/315)]

    (11) Ibnu Áthiyyah Al-Andalusi (542H) [Al-Muharrar al-Wajiiz (3/90)]

    (12) Ibnul Árabi (543H) [Ahkam al-Qurán (2/592)]

    (13) Fakhruddin Ar-Razi (606H) [Mafaatiih al-Ghaib/At-Tafsiir al-Kabiir (17/350)]

    (14) Al-Baidhawi (685H) [Anwaar at-Tanziil wa Asraar at-Ta’wiil (3/99)]

    (15) Abu Hayyan Al-Andalusi (745H) [Al-Bahr al-Muhiith (5/512)]

    (16) Ibnu Katsir (774H) [Tafsiir al-Qurán al-Ázhiim (4/222)] (17) Abu Hafsh Ali bin ‘Adil Al-Hanbali (775H) [Al-Lubab fii ‘Uluum al-Kitab (10/494)]

    (18) Nizhamuddin An-Naisaburi (850H) [Gharaib al-Qurán wa Raghaib al-Furqan (3/538)]


       Adapun ulama yang mengatakan bahwa orang tua Nabi shallallahu álaihi wasallam tidak di neraka (bahkan sebagian menyatakan masuk surga) -sepanjang penilitian penulis- adalah :

    Pertama: Abu Ábdullah Al-Qurthubi (671H) dalam kitabnya At-Tadzkirah (hal 138-142) dan kitab Tafsir beliau (9/32).

    Kedua: Ibnu Raslan Asy-Syafií (844H) dalam Syarh Sunan Abi Daud (18/285).

    Ketiga: As-Suyuthi asy-Syafí (wafat 911 H) dalam beberapa kitabnya, di antaranya: Masaalik al-Hunafaa fi Waalidai al-Mushthafa, Ad-Duraj al-Muniifah fi al-Aabaa’ asy-Syariifah, Al-Maqaamah as-Sundusiyyah fi an-Nisbah al-Mushthafawiyyah, At-Ta’zhiim wa al-Minnah fi anna Abawai Rasulillaah fi al-Jannah, Nasyr al-Alamain al-Munifain fi Ihyaa’ al-Abawain asy-Syariifain, dan As-Subul al-Jaliyyah fi al-Aabaa’ al-Aliyyah.


    Kesimpulan :

       Ternyata mayoritas ulama menyatakan bahwa kedua orang tua Nabi  wafat dalam kondisi musyrik. Dan ini adalah pendapat yang sesuai dengan zahir hadis Nabi  yang sahih, sehingga tidak perlu untuk ditakwil-takwil dengan penafsiran yang terkesan dipaksakan.

       Sebaliknya, yang menyatakan kedua orang tua Nabi wafat dalam kondisi Islam adalah segelintir ulama saja.

       Jika memang ada yang ingin berpendapat dengan pendapat mereka, maka sah-sah saja. Yang menjadi sumber masalah adalah memprovokasi masyarakat Islam dengan mengesankan bahwa pendapat pertama adalah pendapat yang “kurang ajar” kepada Nabi , menyakiti hati Nabi , “tidak tau adab” kepada Nabi, atau menuduh “goblok” terhadap orang yang menyampaikan atau meyakini pendapat tersebut.

       Sikap-sikap demikian sudah jelas merupakan kezaliman kepada para mayoritas ulama Islam, yang mana mereka berpendapat demikian.

        Justru sebaliknya, beradab kepada Nabi  adalah dengan meyakini, berkata, bertindak, dan bersikap sebagaimana sabda dan titah Nabi  dalam hadis-hadisnya. Beliau  sendiri yang telah menyatakan bahwa ayahnya berada di Neraka, dan beliau  sendiri yang menyatakan bahwa beliau dilarang untuk memohonkan ampunan bagi ibunya. Para ulama menjelaskan bahwa pelajaran yang dapat dipetik dari hadis-hadis di atas, adalah bahwa “nasab dan keturunan” semata tidaklah akan menyelamatkan seseorang, dan bahwa modal utama setiap hamba adalah amal salih yang ia kerjakan. Nabi bersabda:

    وَمَنْ بَطَّاَ بِهِ عَمَلُهُ، لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ

    “Siapa yang amalnya memperlambatnya, maka nasabnya tidak akan mempercepatnya” (HR. Muslim no.2699)

    Nabi shallallahu álaihi wasallam berkata kepada putrinya Fatimah radhiallahu ánha:

    وَيَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّ د ! سَلِينِي مَا شِئْتِ مِنْ مَالِي، لاَ اُغْنِي عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا

    “Wahai Fathimah putri Muhammad! Mintalah hartaku sekehendakmu (aku akan berikan padamu). (Akan tetapi) aku tidaklah bisa menolongmu sama sekali dari (siksa) Allah.” (HR. Bukhari no.2753 dan Muslim no.206)

        Karenanya, Azar ayah Nabi Ibrahim álaihis salam tetap di Neraka karena kekafirannya, demikian juga putra Nabi Nuh álaihis salam di Neraka karena kekafirannya.

    Abul Ábbas Al-Qurthubi (wafat 656 H) berkata :

    Dan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam: “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka”, adalah pelipur-lara bagi orang tersebut atas musibah yang dialaminya… Dan faidah hadis ini adalah terputusnya loyalitas antara muslim dan kafir, meskipun di antara kerabat dekat.” (Al-Mufhim li maa Asykala min Talkhiis Kitaab Muslim, 1/460-461)


    Komparasi Ringkas antara Dua Pendapat di Atas

    Penulis lebih menguatkan pendapat jumhur (mayoritas) ulama, tentu dengan tetap menghargai pendapat yang menyelisihi. Adapun alasan penulis memilih pendapat jumhur (mayoritas) ulama adalah sebagai berikut:

    PERTAMA : Pendapat ini adalah pendapat mayoritas. Jumlah ulama yang menyatakan demikian hingga abad ke-9 atau awal abad ke-10 (hingga wafatnya As-Suyuthi) adalah berjumlah sekitar 40 orang, sementara yang berpendapat dengan pendapat yang berlawanan -yang penulis dapatkan- hanya 3 orang yaitu Al-Qurthubi (wafat 671 H), Ibnu Raslan (wafat 844 H), dan As-Suyuthi (wafat 911 H). Seandainya ada ulama lainnya, tetap saja ia tergolong minoritas.

    KEDUA : Sebagian ulama telah menukil ijmak bahwa kesudahan Ahlul Jahiliyah yang meninggal dalam kondisi kafir adalah di Neraka. Diantara para ulama tersebut adalah :

    Pertama : Al-Qarafi al-Maliki (wafat 684 H), beliau berkata :

    “Penyebutan khilaf tentang apakah Rasulullah shallallāhu 'alaihi wasallam dibebani sebelum kenabiannya untuk mengikuti syariat Nabi sebelumnya, haruslah dikhususkan dengan menyebutkan bahwa khilaf tersebut hanya pada masalah furu’ syariat saja, bukan ushul-nya. Karena manusia pada masa Jahiliyyah dibebani dengan pokok-pokok/ushul akidah berdasarkan ijmak ulama. Karenanya ulama sepakat bahwa mereka (kaum Jahiliyyah) yang meninggal dunia (dalam keadaan kafir) berada di Neraka dan diazab karena kekafiran mereka. Seandainya tidak ada taklif (beban syariat) maka tentu mereka tidak diazab.

    Jadi kesimpulannya adalah, tidak diragukan lagi bahwa Rasulullah shallallāhu 'alaihi wasallam dibebani dengan ushul syariat sebelum beliau (yakni ajaran tauhid). Adapun yang diperselisihkan oleh para ulama hanyalah dalam furu’ syariat (seperti tata cara dan jenis ibadah) saja. Demikianlah, keumuman ucapan para ulama dikhususkan dengan ijmak.” (1)

    Kedua : Mulla Ali Al-Qari Al-Hanafi juga menukil ijmak ulama bahwa kedua orang tua Nabi shallallāhu 'alaihi wasallam wafat dalam kondisi musyrik.

    Meskipun penukilan ijmak di atas perlu diteliti kembali, akan tetapi paling tidak menunjukan penguatan bahwa pendapat kedua orang tua Nabi wafat dalam kondisi musyrik adalah pendapat mayoritas ulama dan sangat masyhur di kalangan mereka.


    Peringatan :

    Pernyataan seorang Habib -hafizhahullah (semoga Allah menjaga beliau dalam kebaikan)- bahwa Fakhurrazi (wafat 606 H) berpendapat bahwa kedua orang tua Nabi shallallahu álaihi wasalam wafat dalam kondisi Islam (pada menit : 4.00) adalah kesalahan.

    Yang benar justru Fakhrurrazi/Fakhruddin Ar-Razi justru membantah pendapat ini, dan justru menisbatkan pendapat yang dinukil oleh sang Habib kepada sekte Syiáh. Sepertinya sang Habib -hafizhahullah- tidak membaca secara kesuluruhan pernyataan Ar-Razi, sehingga terluput darinya bantahan beliau di akhir pembahasan. Ar-Razi berkata :

    قَالَتِ الشِّيعَ ةُ: ا نَّ اَحَدًا مِنْ ا بَاءِ الرَّسُولِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَاَجْدَادِهِ مَا كَانَ كَافِرًا

    وَاَنْكَرُوا اَنْ يُقَالَ ا نَّ وَالِدَ ا بْرَاهِيمَ كَانَ كَافِرًا وَذَكَرُوا اَنَّ ا زَرَ كَانَ عَمَّ ا بْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ

    “Syiáh berkata, ‘Sesungguhnya tidak seorangpun dari ayah dan kakek-kakek Nabi shallallahu álaihi wasallam yang kafir. Mereka (Syiáh) juga mengingkari bahwa bapak Nabi Ibrahim álaihis salaam kafir, dan mereka berkata bahwa Azar (yang disebutkan dalam Al-Qur’an) adalah paman Nabi Ibrahim álaihis salaam (bukan bapaknya).” [Tafsir Ar-Raazi (13/32)]

    Ar-Razi kemudian mulai menyebutkan dalil-dalil kaum Syiáh akan klaim mereka tersebut.

    Setelah itu beliau membantah argumentasi mereka. [Lihat: Tafsir Ar-Raazi (13/33-34)]. Lalu di penghujung bantahan ar-Razi berkata:

    وَاَمَّا اَصْحَابُنَا فَقَدْ زَعَمُوا اَنَّ وَالِدَ رَسُولِ اللَّه كَانَ كَافِرًا وَذَكَرُوا اَنَّ نَصَّ الْكِتَابِ فِي هَذِهِ

    الْا يَةِ تَدُلُّ عَلَى اَنَّ ا زَرَ كَانَ كَافِرًا وَكَانَ وَالِدَ ا بْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ.

    “Adapun para ulama kami, maka mereka berpendapat bahwa ayah Rasulullah shallallahu álaihi wasallam adalah kafir. Mereka juga menyebutkan bahwa nas Al-Qur’an dalam ayat ini menunjukkan bahwa Azar adalah kafir, dan Azar adalah ayah Ibrahim ‘alaihis salam.” [Tafsir Ar-Raazi (13/33)]

    Demikian juga Ar-Razi berkata tentang putra Nabi Nuh yang tenggelam :

    اخْتَلَفُوا فِي اَنَّهُ كَانَ ابْنًا لَهُ، وَفِيهِ اَقْوَالٌ:

    الْقَوْلُ الْاَوَّلُ:اَنَّهُ ابْنُهُ فِي الْحَقِيقَةِ، وَالدَّلِيلُ عَلَيْهِ: اَنَّهُ تَعَالَى نَصَّ عَلَيْهِ فَقَالَ: وَنادى نُوحٌ

    ابْنَهُ ونوح ا يضا نص عليه فقال: يا بُنَيَّ وَصَرْفُ هَذَا اللَّفْظِ ا لَى اَنَّهُ رَبَّاهُ، فَاَطْلَقَ عَلَيْهِ

    اسْمَ الِابْنِ لِهَذَا السَّبَبِ صَرْفٌ لِلْكَلَامِ عَنْ حَقِيقَتِهِ ا لَى مَجَازِهِ مِنْ غَيْرِ ضَ رُورَ ة وَاَنَّهُ لَا

    يَجُوزُ، وَالَّذِينَ خَالَفُوا هَذَ ا الظَّاهِرَ ا نَّمَا خَالَفُوهُ لِاَنَّهُمُ اسْتَبْعَدُوا اَنْ يَكُونَ وَلَدُ الرَّسُولِ

    الْمَعْصُومِ كَافِرًا، وَهَذَا بَعِيدٌ، فَ اِنَّهُ ثَبَتَ اَنَّ وَالِدَ رَسُولِنَا صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَ لَّمَ كَانَ كَافِرًا،

    وَوَالِدَ ا بْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّ لَامُ كَانَ كافرا بنص القر ان، فكَ ذ لِ ك هَ اهُ نا

    “Para ulama berselisih tentang status putra Nabi Nuh menjadi beberapa pendapat.

    Pendapat pertama: Yang disebutkan dalam ayat adalah benar-benar putranya Nabi Nuh.

    Dalil pendapat ini, adalah bahwasanya Allah sendiri yang menyatakan hal tersebut. Allah berfirman, ﴿وَنادى نُوحٌ ابْنَهُ ﴾

    “Dan Nuh menyeru putranya”.

    Demikian juga Nabi Nuh sendiri yang menyatakan demikian. Beliau berkata, ﴿يا بُنََّ ﴾ “Wahai putraku”.

    Dan memalingkan makna lafaz/nas (yang jelas) ini kepada “anak didikan” (bukan anak asli), merupakan pemalingan makna suatu lafaz dari makna hakiki kepada makna majaz tanpa ada kebutuhan darurat, dan hal ini tidak diperbolehkan (dalam linguistik Arab).

    Mereka yang menyelisihi zahir ayat ini hanya berargumen dengan mengatakan bahwa tidak mungkin seorang rasul yang suci memiliki putra/i yang kafir.

    Namun argumentasi ini sangat melenceng (dari kebenaran), karena telah valid bahwa bapak Rasul kita shallallahu álaihi wasallam adalah kafir, dan bapak Nabi Ibrahim alaihis salaam juga kafir berdasarkan nas Al-Qur’an. Maka demikian halnya putra Nabi Nuh alaihissalaam.” [Tafsir Ar-Raazi (17/350)]

    KETIGA : Dalil yang menyatakan bahwa orang tua Nabi shallallahu álaihi wasallam di Neraka bersifat sahih penukilannya nan sharih (jelas/gamblang) narasinya. Diantaranya :

    Dalil Pertama : Hadis Anas bin Malik radhiallahu ánhu, beliau berkata bahwasanya seorang lelaki pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu álaihi wasallam: “Wahai Rasulullah, di manakah tempat ayahku (yang telah meninggal) sekarang berada?” Beliau menjawab, “Di neraka.”Ketika orang tersebut menyingkir, beliau pun memanggilnya lalu berkata, “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka.”2 Adapun memaknai lafaz اَبِي “ayahku” menjadi عَمِّي

    “pamanku” dengan dalih bahwa hal ini boleh dalam tinjauan ilmu linguistik Arab, maka bantahannya adalah: Pertama: Ini adalah bentuk mentakwil. Karena makna ‘ayahku’ pada kata ا بِي adalah makna hakikat, sedangkan ‘pamanku’ adalah makna majasi/majaz. Dan hukum asalnya adalah bahwa suatu ucapan dipahami dengan makna hakikat, kecuali jika adanya qarinah (indikasi) yang mengharuskan kita untuk memahaminya dengan makna majasi.

    Kedua : Pernyataan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tersebut adalah sebagai pelipur lara bagi si penanya. Jika ternyata yang dimaksud oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah ‘pamanku’, tentu tujuan ini tidak tercapai, karena semua orang pasti mengetahui perbedaaan antara paman dan ayah.

    Ketiga : Seandainya memang maksud Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah ‘pamanku’, pastilah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam akan mengucapkannya dengan jelas. Apa sulitnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menggunakan lafaz عَ مِّي

    “pamanku”?

    Justru jika maksud Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dengan lafaz أَ ب ternyata adalah adalah ‘pamanku’, tanpa menyertakan penjelasan tambahan, ucapan ini malah dapat disalah pahami oleh sang penanya tersebut Adapun kritikan kedua Habib hafizhahumallah- terhadap hadis di atas dengan menyatakan bahwa: • Salah satu perawi hadis tersebut adalah Hammaad bin Salamah, dan ia adalah perawi yang buruk hafalannya. • Riwayatnya menyelisihi riwayat perawi selainnya dari jalur Ma’mar bin Rasyid yang lebih tsiqah (sebagaimana pernyataan kedua Habib). Dalam riwayat Ma’mar tidaklah menyebutkan lafaz “Ayahku dan ayahmu di Neraka”, akan tetapi lafaznya sebagai berikut :

    جَاءَ اَعْرَابِيٌّ ا لَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ اِنَّ اَبِي كَانَ يَصِلُ

    قَالَ: فَكَاَنَّهُ وَجَدَ مِنْ ذَلِكَ، فَقَالَ: » فِي النَّارِ « الرَّحِمَ، وَ كَانَ وَكَانَ، فَاَيْنَ هُوَ؟ قَالَ

    حَيْثُمَا مَرَرْتَ بِقَبْرِ « : يَا رَسُولَ اللَّهِ فَاَيْنَ اَبُوكَ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

    » مُشْرِ ك فَبَشِّرْهُ بِالنَّارِ

    “Pernah seorang arab badui datang menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata:

    ‘Wahai Rasulullah! Sesungguhnya ayahku dahulu adalah orang yang menyambung tali silaturahmi, dan dia melakukan ini dan itu (ia menyebutkan kebaikan-kebaikannya). Di manakah ia?”

    Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: “Ia di Neraka.”

    Ia pun tampak sedih mendengar jawaban tersebut. Lalu ia bertanya: “Kalau begitu, di manakah ayahmu wahai Rasulullah?”

    Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun menjawab: “Setiap kali engkau melewati kuburan orang musyrik, maka kabarkanlah padanya bahwa kesudahannya di Neraka.”

    Pernyataan kedua Habib tentang hal ini sebenarnya mengikuti pernyataan As-Suyuthi dalam berbagai karyanya.

    As-Suyuthi menyebutkan bahwa hadis pada Shahih Muslim dengan lafaz “Ayahku dan ayahmu di Neraka” adalah melalui periwayatan : Hammad bin Salamah dari Tsaabit al-Bunaani dari Anas bin Malik.

    Sementara riwayat di atas adalah dari jalur Ma’mar bin Rasyid dari Tsabit al-Bunaani dari Anas bin Malik. Dan Ma’mar lebih tsiqah (terpercaya dan kuat hafalannya) dibandingkan Hammad bin Salamah.

    Berikut bantahan terhadap pernyataan As-Suyuthi ini dari berapa sisi :

    Pertama : Tidak dikenal seorangpun dari ulama yang mendaifkan hadis ini dengan alasan yang disebutkan oleh As-Suyuthi rahimahullah tersebut. Dan ulama yang mensahihkan hadis ini jauh lebih banyak, dan mereka adalah ahli hadis yang lebih diakui senioritas dan keilmuannya tentang ilmu hadis daripada As-Suyuthi. Kedua : Penulis belum berhasil menemukan riwayat hadis ini melalui jalur Ma’mar dari Tsabit dalam diwan-diwan hadis utama. As-Suyuthi sendiri ketika menyebutkan riwayat ini tidak menyebutkan sumbernya. Karenanya penulis meminta kedua Habib -hafizohumallahu- untuk menyebutkan sumber riwayat tersebut.

    Ketiga : Jalur periwayatan yang sahih dari Ma’mar dengan lafaz: “Setiap kali engkau melewati kuburan orang musyrik” telah dinyatakan berstatus mursal oleh Abu Hatim dan Ad-Daraquthni. Sedangkan jalurnya yang muttashil (bersambung) sampai Nabi  adalah daif.

    Abu Hatim berkata:

    كَذَا رَوَاهُ يَزِيدُ، وابنُ اَبِي نُعَيم، و لا ا علَمُ اَحَ دً ا يُجاوِزُ بِهِ الزُّهريَّ غيرَهما؛ ا نَّمَ ا ي روُ وْ نَهُ

    عَنِ الزُّهريِّ؛ قَالَ: جَاءَ ا عرابيٌّ ا لى النبيِّ، والمُرسَلُ ا شبهُ .

    “Demikianlah, hanya Yazid dan Ibnu Abi Nu’aim yang aku ketahui meriwayatkannya secara muttashil kepada Nabi. Sedangkan mayoritas perawi lainnya hanya menyambung sanadnya hingga Az-Zuhri, (yakni secara mursal, bukan muttashil), bahwa Az-Zuhri berkata: Suatu ketika seorang arab badui menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam...dst. Dan riwayat mursal lebih kuat dibandingkan riwayat yang muttashil.” (4)

    Berkata Ad-Daraquthni:

    يَرْوِيهِ مُحَمَّدُ بْنُ اَبِي نُعَيْ م، وَالْوَلِيدُ بْنُ عَطَاءِ بْنِ الْاَغَرِّ، عَنْ ا بْرَاهِيمَ بْنِ سَعْ د، وَغَيْرُ ه

    يَرْوِيهِ عَنْ ا بْرَاهِ يمَ بْنِ سَعْ د، عَنِ الزُّهْرِيِّ مُرْسَلًا، وَهُوَ الصَّوَابُ.

    “Riwayat Muhammad bin Abi Nu’aim, dan Al-Walid bin Atha’ bin Al-Agharr hanya sampai kepada Ibrahim bin Sa’d.

    Dan selain keduanya meriwayatkan dari Ibrahim bin Sa’d, dari Az-Zuhri secara mursal. Dan inilah yang benar.”(5) Keempat : Argumentasi Imam As-Suyuthi rahimahullah pun terkesan aneh nan ganjil dalam tinjauan ilmu hadis. Karena telah masyhur di kalangan ahli hadis bahwa Hammad bin Salamah adalah murid paling tsiqah dari Tsabit Al-Bunani. Sebaliknya, justru riwayat Ma’mar dari Tsabit al-Bunani adalah riwayat yang lemah. Berikut pernyataan para ulama:

    Imam Ahmad berkata :

    حَمَّاد بن سَلمَة اَ ث بتُ النَّاسِ فِي ثَا بِ ت الْ ب نانِ ي

    “Hammad bin Salamah adalah orang yang paling tsabit (paling kuat dan sahih hadisnya) dalam meriwayatkan hadis dari Tsabit Al-Bunani.”

    Hal senada juga dinyatakan oleh Abu Hatim Ar-Razi, Adz-Dzahabi, dan Ibnu Hajar Al-Asqolani.

    Imam Muslim (penulis Shahih Muslim) berkata:

    وَالدَّلِيلُ عَ لى مَا بَ يَّ نَّا مِ نْ هَذَا، اِجْتِمَاعُ اهْ لِ الحَدِيثِ وَمِ نْ عُلَمَائهمْ على اَنَّ ا ث بتَ

    النَّاسِ فِي ثَابت الْبنانِ ي حَ مَّاد بن سَلمَة، وَكَذَلِكَ قَالَ يحيى الْقطَّان وَيحيى بن معِين

    وَا حمد بن حَ نْبَل وَغَيرهم من اهل الْمعرفَة. وَحَمَّاد يُعَ د عِنْدهم ا ذا حَ دَّ ث عَن غير

    ثَاب ت كحديثه عَن قَتَادَة وَاَيوب وَيُونُس وَدَاوُد بن ابي هِنْد والجريري وَيحيى بن سعيد

    وَعَمْرو بن دِينَار و اشباههم فَ اِنَّهُ يخْ طِ ئُ فِي حَدِيثهمْ كثيرا

    “Dalil yang menguatkan apa yang telah kami katakan adalah: kesepakatan ahli hadis dan ulama pakar hadis bahwa murid yang paling kuat dan paling sahih periwayatannya dari Tsabit Al-Bunani adalah Hammad bin Salamah, sebagaimana demikian dikatakan oleh Yahya Al-Qaththan, Yahya bin Ma’in, Ahmad bin Hanbal dan para pakar hadis lainnya.

    Mereka juga mengatakan bahwa jika Hammad meriwayatkan dari guru lainnya selain Tsabit, seperti Qatadah, Yunus, Dawud bin Abi Hind, Al-Jariri, Yahya bin Sa’id, ‘Amr bin Dinar, dan yang semisal mereka, maka memang riwayatnya banyak mengandung kesalahan (berbeda dengan riwayatnya dari Tsabit Al-Bunani).”(10)

    Berkata Yahya bin Ma’in:

    من خَالف حَمَّاد بن سَلمَة فِي ثَابت ، فَالْقَوْل قَولُ حَمَّا د . قيل لَهُ : فسليمان بن

    مُغيرَة عَن ثَابت؟ قَالَ سُلَيْمَان ثَ بتٌ ، وَحَمَّاد اعلم النَّاس بِثَابِت.

    “Siapa pun yang meriwayatkan sesuatu dari Tsabit, akan tetapi riwayatnya tersebut berbeda dengan apa yang diriwayatkan oleh Hammad dari Tsabit, maka ketahuilah bahwa riwayat Hammad lah yang benar.”

    Lalu Yahya bin Ma’in ditanya kembali: “Bagaimana jika riwayat Hammad dari Tsabit berbeda dengan periwayatan Sulaiman bin Al-Mughirah dari Tsabit, mana yang lebih didahulukan?”

    Beliau menjawab: “Memang Sulaiman adalah perawi yang tsabt (kuat hafalannya), hanya saja Hammad adalah murid yang paling tahu akan hadis-hadis Tsabit.” (11)

    Kesimpulan: Riwayat dari Tsabit yang tersahih adalah yang diriwayatkan darinya oleh Hammad, sebagaimana demikianlah hal yang masyhur di kalangan ahli hadis, bahkan Imam Muslim menukil ijmak ahli hadis akan hal tersebut.

    Berkata Imam ‘Ali bin Al Madini:

    لَمْ يَكُنْ فِي اَصْحَابِ ثَابِ ت اَثْبَتَ مِنْ حَمَّادِ ابْن سَلَمَةَ ثُمَّ بَعْدَهُ سُلَيْمَانُ بْنُ الْمُغِيرَةَ ثُمَّ

    بَعْدَهُ حَمَّادُ بْنُ زَيْ د وَهِيَ صِحَاحٌ

    “Tidak ada murid Tsabit yang lebih kuat dan sahih periwayatannya dari Hammad bin Salamah, kemudian pada level selanjutnya adalah Sulaiman bin Al-Mughirah, kemudian setelahnya Hammad bin Zaid, dan semua hadis mereka dari Tsabit adalah sahih.” (12)

    Kelima : Seandainya memang ada riwayat hadis ini melalui jalur Ma’mar dari Tsabit, tetap saja periwayatan Ma’mar bin Rasyid dari Tsabit Al-Bunani telah dinilai daif (lemah) oleh ahli hadis.

    ‘Ali bin Al-Madini berkata :

    وَفِي اَحَادِيثِ مَعْمَ ر عَنْ ثَابِ ت اَحَادِيثُ غَرَائِبٌ وَمُنْكَرَ ة

    “Dan pada hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ma’mar dari Tsabit terdapat hadis-hadis yang gharib dan munkar.” (13)

    Ibnu Rajab berkata :

    و مٍِ نهُ مْ مَ عْ مَ ر بن راشِ د . وضُ عِّ فَ حَ دِ ي ثُهُ عَ نْ ثَا بِ ت خَ اصَّ ةً .

    “Dan di antara mereka adalah Ma’mar bin Rosyid. Dan terkhusus hadis-hadisnya dari Tsabit, telah dinyatakan daif oleh para ahli hadis.”

    Demikian juga pernyataan Ibnu Ma’in, Ibnu Asakir, Ibnu Rajab Al Hanbali, ‘Alauddin Mughlathoy Al-Hanafi, dan Ibnu Hajar Al-Asqalani.

    Kesimpulan:

    Dengan dua alasan ini, yakni Hammad adalah perawi terkuat dari Tsabit dan riwayat Ma’mar dari Tsabit dipermasalahkan, dapat disimpulkan bahwa lafaz “Ayahku dan ayahmu di neraka” sama sekali tidaklah syadz, bahkan ia adalah riwayat yang sahih, dan justru riwayat Ma’mar lah yang harus dinyatakan syadz.

    Hal ini jika memang riwayat dari Ma’mar dari Tsabit dengan lafazh yang disebutkan diatas memang ada. Penulis sendiri sampai saat ini belum menemukan riwayat tersebut.

    Keenam : Meskipun telah sahih riwayat dari jalur Ma’mar dari Az-Zuhri, yaitu dengan lafaz:

    جَاءَ اَعْرَابِيٌّ ا لَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ اِنَّ اَبِي كَانَ يَصِلُ

    قَالَ: فَكَاَنَّهُ وَجَدَ مِنْ ذَلِكَ، فَقَالَ: » فِي النَّارِ « الرَّحِمَ، وَكَانَ وَكَانَ، فَاَيْنَ هُوَ؟ قَالَ

    حَيْثُمَا مَرَرْتَ بِقَبْرِ « : يَا رَسُولَ اللَّهِ فَاَيْنَ اَبُوكَ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

    » مُشْرِ ك فَبَشِّرْهُ بِالنَّارِ

    “Pernah seorang arab badui datang menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata:

    ‘Wahai Rasulullah! Sesungguhnya ayahku dahulu adalah orang yang menyambung tali silaturahmi, dan dia melakukan ini dan itu (ia menyebutkan kebaikan-kebaikannya). Di manakah ia?”

    Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: “Ia di Neraka.”

    Ia pun tampak sedih mendengar jawaban tersebut. Lalu ia bertanya: “Kalau begitu, di manakah ayahmu wahai Rasulullah?”

    Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun menjawab: “Setiap kali engkau melewati kuburan orang musyrik, maka kabarkanlah padanya bahwa kesudahannya di Neraka.” (20)

    Jawabannya :

    Lafaz hadis ini “Setiap kali engkau melewati kuburan orang musyrik” bersifat umum, sehingga mencakup setiap musyrik yang dilewati oleh orang tersebut, termasuk ayah Nabi , sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis Hammad bin Salamah dengan lafaz (Ayahku dan ayahmu di neraka). Dengan kata lain, kedua riwayat ini dapat dikompromikan sehingga tidak saling bertentangan.

    Jika seseorang ingin mengecualikan ayah Nabi  dari keumuman lafaz tersebut, maka ia harus membawakan dalil tentang itu. Dalil Kedua : Hadis Abu Hurairah radhiallahu ánhu, beliau berkata:

     زَارَ النَّبِيُّ قَبْرَ اُمِّهِ فَبَكَى وَاَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ: اسْتَا ذَنْتُ رَبِّي فِيْ اَنْ اَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ

    يُؤْذَنْ لِيْ ، وَاسْتَ اْذَنْتُهُ فِيْ اَنْ اَزُوْرَ قَبْرَهَا فَاُذِنَ لِيْ . فَزُوْرُوْا الْقُبُوْ ر، فَ اِنَّهَا تُذَكِّرُ ا لمَوْتَ .

    “Suatu ketika Nabi pernah menziarahi kubur ibunya, beliau pun menangis dan membuat orang yang berada di sampingnya juga turut menangis. Kemudian beliau bersabda: ‘Saya meminta izin kepada Rabbku untuk memohonkan ampunan bagi ibuku, akan tetapi saya tidak diberi izin untuk hal itu. Kemudian saya meminta izin kepada-Nya untuk menziarahi kuburnya, aku pun diizinkan untuk itu. Berziarahlah! Karena (ziarah kubur) dapat mengingatkan kalian akan kematian.’” (HR. Imam Muslim dalam Shahîh-nya (976–977). Dan yang semakna dengan hadis Abu Hurairah di atas adalah hadis Buraidah bin Al-Hushaib radhiallahu ánhu, beliau berkata :

     كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَنَزَلَ بِنَا وَنَحْنُ مَعَهُ قَرِيبٌ مِنْ اَلْفِ رَاكِ ب فَصَلَّى

    رَكْعَتَ ينِ، ثُمَّ اَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ وَعَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ فَقَامَ ا لَيْهِ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَفَدَاهُ بِالْا بِ

    وَالْاُمِّ يَقُولُ: يَا رَسُولَ اللهِ مَا لَكَ؟ قَالَ: " ا نِّي سَاَلْتُ رَبِّي فِي اسْتِغْفَا ر لِاُمِّي، فَلَمْ يَا ذَنْ

    لِي، فَدَمَعَتْ عَيْنَايَ رَحْمَةً لَهَا مِنَ النَّارِ

    “Suatu ketika kami bersafar bersama Nabi shallallahu álaihi wasallam. Nabi pun singgah di suatu tempat, sementara jumlah kami sekitar seribu pengendara. Beliau pun shalat dua rakaat, lalu menghadapkan wajahnya kepada kami, sementara kedua matanya mengalirkan air mata. Maka Umar bin al-Khottob pun mendekati beliau seraya mengatakan: “Wahai Rasulullah, ayah dan ibuku sebagai tebusanmu!21 Ada apakah gerangan?” Nabi shallallahu álaihi wasallam berkata, “Sesungguhnya aku memohon kepada Rabbku untuk memintakan ampunan bagi ibuku, namun Allah tidak mengizinkan aku, maka akupun menangis karena kasihan mengingat kesudahannya kelak di Neraka.” (HR. Ahmad no.23003 dengan sanad yang sahih) Kedua hadis tersebut sangat jelas menyebutkan bahwasanya ibu Nabi  wafat dalam kondisi musyrik, sehingga Nabi tidak diizinkan untuk beristighfar bagi ibunya. Hal inilah yang membuat Nabi menangis. Bahkan dalam riwayat Buraidah jelas dinyatakan dengan jelas bahwa Nabi menangisi ibunya yang akan berakhir di Neraka.

    KEEMPAT : Kekuatan dalil-dalil pendapat kedua (yaitu bahwa orang tua Nabi di surga) tidaklah seberapa untuk dihadapkan dengan dalil-dalil pendapat pertama. Berikut ini dalil-dalil mereka: Dalil Pertama : Firman Allah : ﴿وَمَا كُنَّا مُعَ ذِّبِّيَ حَتََّّ نَبْعَثَ رَسُولً ﴾

    {dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul} (QS. Al-Israa’: 15) Sementara kedua orang tua Nabi shallallahu álaihi wasallam hidup di masa fatroh (hampa dari utusan dan syariat Allah), sehingga mereka tidak bisa divonis kafir. Jawab : Pertama : Ayat ini umum, sementara hadis-hadis yang menjelaskan status kedua orang tua Nabi  yang wafat dalam keadaan kafir bersifat spesifik (khusus). Dan menggolongkan seseorang tertentu sebagai ahlul fatrah membutuhkan dalil khusus nan spesifik. Kedua : Kepastian akan tersisanya syariat Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail hingga zaman kedua orang tua Rasulullah  adalah perkara gaib. Akan tetapi fakta-fakta sejarah lebih menguatkan bahwa dakwah tersebut masih tetap eksis hingga diutusnya Rasulullah, walau tanpa adanya Rasul atau pun Nabi. Berikut beberapa indikasi yang menguatkan hal tersebut: a. Mekkah adalah salah satu asal muasal penyebaran dakwah tauhid. Ini ditandai dengan Ka’bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim bersama putranya, yaitu Nabi Ismail. b. Kaum Quraisy (termasuk Rasulullah  dan keluarga besarnya) adalah keturunan Nabi Ismail alaihis salaam. Dan ini adalah indikasi yang kuat akan tersisanya ajaran tauhid hingga zaman Rasulullah, yakni besar kemungkinan akan senantiasa adanya golongan yang bertauhid dari keturunan Nabi Ismail di Mekkah atau sekitarnya hingga zaman diutusnya Rasulullah. c. Adanya orang-orang yang Nabi shallallahu álaihi wasallam sebutkan bahwa mereka akan berakhir di Neraka, padahal mereka wafat sebelum diutusnya Rasulullah. Seperti ayah dan ibu Nabi, Ámr bin Luhay Al-Khuzaí(22), Ibnu Jud’an(23), dan ayah dari lelaki yang bertanya kepada Nabi tentang kesudahan ayahnya. d. Bahkan ada hadis umum yang mengesankan bahwa semua orang musyrik di Mekkah ketika itu di neraka, yaitu sabda Nabi shallallahu álaihi wasallam:

    حَ ي ثُمَا مَرَ رتَ بِّقَ بِّْ مُ شرِّ ك فَ بَ ش رهُ بِِّلنَّارِّ

    “Setiap kali engkau melewati kuburan orang musyrik, maka kabarkanlah kepadanya neraka”. (24) e. Adanya orang-orang di masa fatroh yang masih istikamah di atas tauhid, seperti Al-Qus bin Saídah, Zaid bin ‘Amr bin Nufail, Rasulullah shallallahu álaihi wasallam sendiri, Waraqah bin Naufal, dll. Ibnu Umar berkata :

     اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقِيَ زَيْدَ بْنَ عَمْرِو بْنِ نُفَيْ ل بِاَسْفَلِ بَلْدَ ح، قَبْلَ

    اَنْ يَنْزِلَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَ لَّمَ الوَحْيُ، فَقُدِّمَتْ ا لَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ

    عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُفْ رَةٌ، فَاَبَى اَنْ يَا كُلَ مِنْهَا، ثُمَّ قَالَ زَيْدٌ: ا نِّي لَسْتُ ا كُلُ مِمَّا تَذْبَحُونَ

    عَلَى اَنْصَابِكُمْ، وَلاَ ا كُلُ ا لَّا مَا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ، وَاَنَّ زَيْدَ بْنَ عَمْ رو كَانَ

    يَعِيبُ عَلَى قُرَيْ ش ذَبَائِحَهُمْ، وَيَقُولُ: الشَّاةُ خَلَقَهَا اللَّهُ، وَاَنْزَلَ لَهَا مِنَ السَّمَاءِ

    المَاءَ، وَاَنْبَتَ لَهَا مِنَ الاَرْضِ، ثُمَّ تَذْبَحُونَهَا عَلَى غَيْرِ اسْمِ اللَّهِ، ا نْكَارًا لِذَلِكَ

    وَا عْظَ امًا لَهُ

    “Suatu ketika Nabi shallahu álaihi wasallam bertemu dengan Zaid bin Amr bin Nufail di bawah lembah Baldah, sebelum wahyu turun kepada beliau. Kemudian makanan dihidangkan kepada Nabi shallallahu álaihi wasallam, namun Zaid enggan memakannya seraya berkata:

    ‘Sesungguhnya aku tidak akan memakan apa yang kalian sembelih sebagai persembahan untuk berhala-berhala kalian. Aku hanyalah memakan sesembelihan yang disembelih dengan menyebut nama Allah.’ Dan sesungguhnya Zaid bin Ámr dahulu mencela sembelihan-sembelihan Quraisy dengan mengatakan, ‘Allah lah yang menciptakan kambing, Allah lah yang menurunkan hujan dari langit, dan Allah yang menumbuhkan rumput sebagai makanannya. Lalu kalian malah menyembelihanya tidak dengan nama Allah?!’ Zaid sangat mengingkari perbuatan mereka tersebut dan mengganggap besar kesalahan tersebut.” (HR. Al-Bukhari no.3826) Asmaa’ bintu Abi Bakar berkata :

     رَاَيْتُ زَيْدَ بْنَ عَمْرِو بْنِ نُفَيْ ل قَائِمًا مُسْنِدًا ظَهْرَهُ ا لَى الكَعْبَةِ يَقُولُ: يَا مَعَاشِرَ

    قُرَيْ ش، وَ اللَّهِ مَا مِنْكُمْ عَلَى دِينِ ا بْرَاهِيمَ غَيْرِي، وَكَانَ يُحْيِي المَوْءُودَةَ، يَقُولُ

    لِلرَّجُلِ ا ذَا اَرَادَ اَنْ يَقْتُلَ ابْنَتَهُ، لاَ تَقْتُلْهَا، اَنَا اَكْفِيكَهَا مَئُونَتَهَا، فَيَا خُذُهَا فَ اِذَا

    تَرَعْرَعَتْ قَالَ لِاَبِيهَا: ا نْ شِ ئتَ دَفَعْتُهَا ا لَيْكَ، وَا نْ شِئْتَ كَفَيْتُكَ مَئُونَتَهَا

    “Aku melihat Zaid bin Ámr bin Nufail sedang berdiri dengan menyandarkan punggungnya kepada Ka’bah seraya berkata, “Wahai kaum Quraisy, demi Allah tidak seorangpun dari kalian yang berada di atas agama Ibrahim selain aku”. Dan beliau termasuk orang yang tidak mengubur anak perempuan hidup-hidup. Ia biasa mengatakan kepada seseorang yang ingin membunuh putrinya, “Jangan kau bunuh dia! Biarlah aku yang akan mengurusnya”. Lalu ia pun mengasuh anak perempuan tersebut. Ketika anak perempuan tersebut sudah tumbuh besar, maka Zaid berkata kepada bapaknya, “Kalau kau mau aku akan kembalikan putrimu. Jika tidak, akulah yang akan melanjutkan pemeliharaannya.” (HR. Al-Bukhari no.3828) Ibnu Hajar berkata, “Zaid bin Ámr bin Nufail adalah sepupunya Umar bin al-Khottob bin Nufai, dan beliau adalah ayah dari Saíd bin Zaid yang termasuk 10 sahabat yang dijamin masuk surga. Beliau termasuk orang-orang yang mempelajari tauhid dan meninggalkan berhala serta menjauhi kesyirikan, akan tetapi beliau wafat sebelum Nabi  diutus.” (Fathul Baari 7/143) Kedua hadis di atas menunjukan bahwa Zaid bin Ámr bin Nufail tidak hanya bertauhid, akan tetapi beliau juga mendakwahi kaum Quraisy untuk meninggalkan kesyirikan mereka sembari mengingatkan mereka akan agama nenek moyang mereka, yakni Nabi Ibrahim álaihis salam. f. Pernyataan Zaid -di masa fatroh- kepada kaum Quraisy bahwa mereka tidak berada di atas agama Nabi Ibrahim, mengisyaratkan bahwa mereka mengetahui dengan pasti bahwa kesyirikan yang mereka lakukan bukanlah ajaran Nabi Ibrahim. Karena jika mereka tidak mengetahui hal itu dan menyangka bahwa praktek kesyirikan mereka adalah ajaran Nabi Ibrahim, tentunya mereka akan membantah Zaid bin Nufail, karena Nabi Ibrahim adalah nenek moyang mereka semua. Hal ini dikuatkan dengan dalih mereka untuk menolak syariat Rasulullah . Mereka hanyalah menisbatkan kesyirikan tersebut kepada nenek moyang mereka yang juga musyrik. Allah berfirman:

    "Dan jika mereka melakukan keburukan, mereka akan mengatakan: sungguh kami dapati nenek moyang kami melakukan ini, dan Allah lah yang memerintahkan kami akan hal itu. Katakanlah (wahai Muhammad)! Sungguh Allah tidak pernah memerintahkan keburukan, apakah kalian berbicara tentang Allah dengan hal yang tidak kamu ketahui?!" (QS. Al-A’raf : 28)

    Mereka tidaklah menyandarkan perbuatan mereka kepada agama Nabi Ibrahim 'alaihissalam. Allah juga berfiman:

    "Orang-orang musyrik itu akan mengatakan: “Jika Allah berkehendak, sungguh kami tidak akan melakukan kesyirikan, begitu juga dengan nenek moyang kami.” (QS Al-An’am: 148) Ketika diingkari kesyirikan mereka, mereka akan menyandarkannya kepada nenek moyang dan kehendak Allah 'Azza wa Jalla. Dan yang demikian adalah bukti yang sangat kuat bahwa mereka mengetahui dengan pasti bahwa Nabi Ibrahim 'alaihissalam tidaklah menyembah berhala dan mereka juga mengetahui akan asal dakwah tauhid itu. g. Bangsa Arab adalah salah satu bangsa yang paling kuat ingatannya terhadap sejarah, sehingga hampir mustahil jika mereka tidak mengetahui akan dakwah tauhid yang dibawa oleh nenek moyang mereka, yakni Nabi Ibrahim 'alaihissalam. h. Kaum Quraisy mengetahui kisah kaum-kaum yang dibinasakan oleh Allah karena kesyirikan mereka terhadapNya, seperti kaum Arab Áad, kaum Arab Tsamud, dan kaum Arab Madyan.

    Berkata Ibnul Qayyim:

    دَلِيلٌ عَلَى ...) » حَيْثُمَا مَ ررْتَ بِقَبْرِ كَافِ ر فَقُلْ اَرْسَلَنِي ا لَيْكَ مُحَمَّدٌ « ( وَقَوْلُهُ

    اَنَّ مَنْ مَاتَ مُشْرِكًا فَهُوَ فِي النَّارِ، وَا نْ مَاتَ قَبْلَ الْبِعْثَةِ؛ لِاَنَّ الْمُشْرِكِينَ كَانُوا

    قَدْ غَيَّرُوا الْحَنِيفِيَّةَ دِينَ ا بْرَاهِيمَ وَاسْتَبْدَ لُوا بِهَا الشِّرْكَ وَارْتَكَبُوهُ، وَلَيْسَ مَعَهُمْ

    حُجَّةٌ مِنَ اللَّهِ بِهِ، وَقُبْحُهُ وَالْوَعِيدُ عَلَيْهِ بِالنَّارِ لَمْ يَزَلْ مَعْلُومًا مِنْ دِينِ الرُّسُلِ

    كُلِّهِمْ مِنْ اَوَّلِهِمْ ا لَى ا خِرِهِمْ، وَاَخْبَارُ عُقُوبَاتِ اللَّهِ لِاَهْلِهِ مُ تَدَاوَلَةٌ بَيْنَ الْاُمَمِ

    قَرْنًا بَعْدَ قَرْ ن، فَلِلَّهِ الْحُ جَّةُ الْبَالِغَةُ عَلَى الْمُشْرِكِينَ فِي كُلِّ وَقْ ت، وَلَوْ لَمْ يَكُنْ

    ا لَّا مَا فَطَرَ عِبَادَهُ عَلَيْهِ مِنْ تَوْحِيدِ رُبُوبِيَّتِهِ الْمُسْتَلْزِمِ لِتَوْحِيدِ ا لَهِيَّتِهِ، وَ اَنَّهُ يَسْتَحِيلُ

    فِي كُلِّ فِطْرَ ة وَعَقْ ل اَنْ يَكُونَ مَعَهُ ا لَهٌ ا خَرُ، وَا نْ كَانَ سُبْحَانَهُ لَا يُعَذِّبُ

    بِمُقْتَضَى هَذِهِ الْفِطْرَةِ وَحْدَهَا، فَلَمْ تَزَلْ دَعْوَةُ الرُّسُلِ ا لَى التَّوْحِيدِ فِي الْاَرْضِ

    مَعْلُومَةً لِاَهْلِهَا، فَالْمُشْرِكُ يَسْتَحِقُّ الْعَذَابَ بِمُخَالَفَتِهِ دَعْوَةَ الرُّسُ لِ وَاللَّهُ اَعْلَمُ.

    “Dan sabda Rasulullah: “Setiap kali engkau melewati kuburan orang kafir, maka katakanlah Muhammad mengutusku kepadamu...” adalah dalil bahwa siapa saja yang mati dalam keadaan musyrik maka kesudahannya adalah Neraka, meskipun ia mati sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Karena sebenarnya orang-orang musyrik telah menyelewengkan agama tauhid yang lurus, agama Ibrahim 'alaihissalam, seraya menggantinya dengan kesyirikan yang mereka lakukan. Tidak ada alasan bagi mereka dihadapan Allah yang dapat menjustifikasi perbuatan mereka tersebut.

    Buruknya kesyirikan dan ancaman azab Neraka bagi para pelakunya adalah maklumat yang senantiasa diketahui dari agama seluruh utusan Allah. Dan kisah-kisah siksa duniawi dari Allah atas para pelaku kesyirikan telah tersebar, masyhur, nan diwariskan turun-temurun seiring berputarnya roda zaman. Sehingga tegaklah hujjah Allah yang nyata bagi orang-orang musyrik lintas generasi.

    Seandainya tidak ada hujah atas para hamba selain fitrah tauhid Rububiyyah yang berkonsekuensi tauhid Uluhiyyah yang Allah tanamkan pada mereka, serta keyakinan fitri akan kemustahilan adanya Tuhan selain Allah yang terpatri pada mereka, -meskipun Allah tidaklah mengazab hanya dengan menegakkan hujah fitrah ini semata-, (tentulah semua itu sudah cukup sebagai hujah atas para hamba, yang mengharuskan mereka untuk bertauhid kepadaNya di setiap waktu dan zaman).

    Kesimpulannya, dakwah tauhid para rasul senantiasa diketahui oleh penduduk bumi di setiap zaman, dan orang yang musyrik itu akan diazab karena ia menyelisihi dakwah para Rasul. Wallaahu A’lam.”

    Para nabi sebelum Rasulullah Muhammad memang tidak diutus secara universal kepada seluruh umat manusia, melainkan setiap nabi memiliki umat tersendiri. Akan tetapi perlu diketahui bahwa asas syariat mereka adalah sama, yaitu mendakwahi manusia untuk bertauhid dan menyembah Allah semata. Para ulama mengatakan bahwa asas dakwah ini, yakni tauhid, wajib dianut oleh setiap manusia yang telah sampai kepadanya seruannya, baik ia termasuk umat nabi tertentu (sebelum Muhammad), maupun tidak. Berbeda dengan cabang-cabang syariat para nabi sebelum Muhammad, seperti tata cara ibadah, zikir, dll, ia hanya wajib dijalankan oleh kaum yang nabi tersebut diutus kepadanya. (26) Seperti Fir’aun, ia bukanlah termasuk Bani Israil, sehingga ia bukan termasuk umat Nabi Musa alaihis salaam. Memang ia tidaklah wajib mengikuti perincian agama yang dibawa oleh Nabi Musa, akan tetapi ia tetap wajib mengikuti asas ajaran para nabi yang telah disampaikan oleh Nabi Musa alaihis salaam kepadanya, yakni tauhid. Demikian pula yang dilakukan oleh paman Khadijah radhiyallaahu anha, Waraqah bin Naufal, yang menganut agama Nasrani yang masih bertauhid nan bersih dari kesyirikan ketika itu, padahal ia bukanlah termasuk Bani Israil.

    Oleh karena itu An-Nawawi (ketika mengomentari hadis tentang ayah Nabi di neraka) berkata :

    وَفِيهِ اَنَّ مَنْ مَاتَ فِي الْفَتْرَةِ عَلَى مَا كَانَتْ عَ ليْهِ الْعَرَبُ مِنْ عِبَادَةِ الْاَ وْثَانِ فَهُوَ

    مِنْ اَهْلِ النَّارِ وَلَيْسَ هَذَا مُؤَاخَذَةٌ قَبْلَ بُلُوغِ الدَّعْوَةِ فَ اِنَّ هَؤُلَاءِ كَانَتْ قَدْ بَلَغَتْهُمْ

    دَعْوَةُ ا بْرَاهِيمَ وَغَيْرِهِ مِنَ الْاَنْبِيَاءِ صَلَوَاتُ اللَّهِ تَعَالَى وَسَلَامُهُ عَلَيْهِمْ

    “Dapat disimpulkan dari hadis ini, bahwa setiap yang wafat di masa fatrah dalam keadaan menganut Paganisme Arab Jahiliyyah, maka dia termasuk penghuni Neraka.

    Ini bukan berarti ia disiksa sebelum sampainya dakwah kepadanya, karena sungguh telah sampai kepada mereka ajaran Nabi Ibrahim dan para nabi selainnya (yakni tauhid), semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada mereka semua.”

    Ketiga : Sisi argumentasi maksimal dari ayat ini adalah ketidakpastian status orang tua Nabi sebagai penghuni Neraka, tanpa memastikan bahwa keduanya termasuk penghuni Surga. Adapun hadis-hadis yang menerangkan bahwa kedua orang tua Nabi  dihidupkan kembali untuk beriman, maka itu merupakan hadis-hadis yang daif, bahkan sebagiannya palsu/maudhu’.

    Dalil Kedua : Klaim bahwa ayah Rasulullah dan seluruh kakek beliau hingga Nabi Adam alihis salaam adalah muslim, tidak seorang pun di antara mereka yang kafir atau pun musyrik.

    Berikut beberapa dalil yang dijadikan argumentasi terkait dengan hal ini:

    Pertama : Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

    ا نَّ اللَّهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ ا سْمَاعِيلَ وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ وَاصْطَفَى مِنْ «

    » قُرَيْ ش بنِى هَاشِ م وَ اصْطَفَانِى مِنْ بَنِى هَاشِ م

    “Sesungguhnya Allah azza wa jalla memilih Kinanah dari anak keturunan Isma’il, dan memilih Quraisy dari anak keturunan Kinanah, dan memilih Bani Hasyim dari keturunan Quraisy, dan Allah azza wa jalla memilihku dari Bani Hasyim.”

    Ini menunjukan bahwa semua orang tua Nabi dan kakek Nabi adalah orang-orang pilihan Allah, lantas bagaimana mungkin pilihan Allah namun kafir?

    Bantahan :

    Maksud pilihan pada hadis ini adalah bukan dari sisi agama. Al-Munawi berkata :

    وَمَ عْ نى الاصْ طِ فَ اءِ وَ الخَ ي رِ يَّةِ فِيْ هَذِ ه الْقَبَائِلِ لَيْسَ بِاعْتِبَار ال د يانَةِ ، بلْ بِاعْتِبَا رِ الْخِصَالِ

    الحَ مِ يدَ ة

    “Al-ishthifaa’ wal khairiyyah (pemilihan yang terbaik) dari suku-suku ini bukanlah dari sisi agama, akan tetapi dari sisi perangai-perangai yang mulia.” (Faidh al-Qadiir 2/210)

    Seandainya yang dimaksud dengan “pemilihan yang terbaik” dalam hadis ini adalah ditinjau dari sisi agama, dan bahwa yang dipilih Allah pasti seorang muslim, apalagi pasti masuk surga, maka konsekuensinya adalah bahwa semua orang Quraisy adalah muslim dan pasti masuk surga. Padahal tidak dapat dipungkiri bahwa para pionir kekafiran yang telah divonis dengan Neraka, seperti Abu Jahal, Al-Walid bin Al-Mughiroh, Umayyah bin Kholaf, Abu Lahab, dst, adalah bagian dari Quraisy, bahkan termasuk kasta tertinggi dari suku Quraisy.

    Kedua : Allah berfirman:

    ﴿إ نَِِّّمَا المُشِّْْكُوْنَ نَََسٌ ﴾

    “Sesungguhnya orang-orang musyrik adalah najis.” (QS. At-Taubah: 28)

    Jika anda mengatakan ibu Rasulullah adalah seorang kafir, sama saja anda mengatakan bahwa Rasulullah terlahir dari rahim yang najis!

    Berikut dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah  dilahirkan dari rahim yang suci:

    Ibnu Abbas radhiallahu'anhuma berkata :

    اَنَّ قُرَيْشًا كَانَتْ نُورًا بَيْنَ يدَيِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَبْلَ اَنْ يَخْلُقَ ا دَمَ بِاَلْفَيْ عَام يُسَبِّحُ ذَلِكَ

    النُّورُ وَتُسَبِّحُ الْمَلَائِكَةُ بِتَسْبِيحِهِ ، فَلَمَّا خَلَقَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ا دَمَ اَلْقَى ذَلِكَ النُّورَ فِي صُلْبِهِ،

    فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَاَهْبَطَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ا لَى الْاَرْضِ فِي صُلْبِ

    ا دَمَ ، وَجَعَلَنِي فِي صُلْبِ نُو ح فِي سَفِينَتِهِ، وَقَذْفَ بِي فِي النَّارِ فِي صُلْبِ ا بْرَاهِيمَ عَلَيْهِ

    السَّلَامُ ، ثُمَّ لَمْ يَزَلْ يَنْقُلُنِي فِي الْاَصْلَابِ الْكَرِيمَةِ ا لَى الْاَرْحَامِ الطَّاهِرَةِ، حَتَّى اَخْرَجَنِي

    مِنْ بَيْنَ اَبَوَيَّ، لَمْ يَلْتَقِ لِي اَبَوَانِ قَطُّ عَلَى سِفَا ح قطُّ

    “Dahulu kala, 2000 tahun sebelum penciptaan Adam, suku Quraisy merupakan sebuah cahaya di hadapan Allah. Cahaya itu senantiasa bertasbih, dan para malaikat bertasbih mengikutinya. Tatkala Allah ciptakan Adam, Allah pun masukkan cahaya itu kepada tulang sulbi Adam.

    Kemudian Rasulullah bersabda: ‘Lalu Allah turunkan aku ke bumi pada tulang sulbi Adam. Kemudian Allah jadikan aku di tulang sulbi Nuh ketika ia berada di bahteranya. Kemudian Allah jadikan aku di tulang sulbi Ibrahim ketika ia berada di dalam api. Demikianlah, Allah terus memindahkan aku dari sulbi dan rahim yang mulia nan suci kepada sulbi dan rahim mulia nan suci lainnya, hingga kemudian Allah mentakdirkan aku terlahir dari kedua orang tuaku. Dan tidak seorang pun nenek moyangku yang bertemu dengan hubungan zina.’”

    Bantahan :

    Pertama : hadis ini adalah maudhu’ (palsu). Sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Ibnu Al Jauzi (lihat: Al-Maudhuáat 1/281).

    Kedua : Yang dimaksud dengan rahim yang suci adalah rahim dari pernikahan, bukan dari perzinahan. Terlebih di akhir hadis tersebut Rasulullah  telah menerangkan maksud tersebut dengan bersabda: “Dan tidak seorang pun nenek moyangku yang bertemu dengan hubungan zina”. Dan penafsiran ini juga dikuatkan oleh lafaz-lafaz hadis lainnya, di antaranya :

    Hadis Ibnu ‘Abbas radhiallahu'anhuma:

    مَا وَلَدَنِي مِنْ سِفَاحِ اَهْلِ الْجَ اهِلِيَّةِ شَيْء . مَ ا وَلَدَنِي ا لَّا نِكَاحٌ كِنِكَاحِ الْ اِسْلَام .

    “Tidaklah seorang pun dari nenek moyangku yang terlahir dari hubungan zina ala Jahiliyyah. Semua nenek moyangku terlahir dari pernikahan sah, layaknya pernikahan dalam Islam.” (30)

    Hadis ‘Ali radhiallahu'anhu:

    خَرَجْتُ مِنْ نِكَا ح، وَلَمْ اَخْرُجْ مِنْ سِفَا ح، مِنْ لَدُنْ ا دَمَ ا لَى اَنْ وَلَدَنِي اَبِي وَاُمِّ ي

    “Aku terlahir melalui jalur nikah, bukan dari hasil zina, dari masa Adam 'alaihissalam, hingga aku terlahir dari hubungan (nikah) ayah dan ibuku.”

    Ketiga : Jika yang dimaksud dengan rahim yang suci adalah Islam, maka yang demikian menyelisihi Al-Qur’an yang menyatakan bahwa Azar ayah Ibrahim adalah seorang kafir, karena Nabi Muhammad adalah keturuanan Nabi Ibrahim álaihissalam32, dan juga menyelisihi dalil yang sahih nan gamblang bahwa Abdul Muththalib kakek Rasulullah  adalah penyembah berhala, sebagaiamana yang telah disebutkan sebelumnya pada kisah wafatnya Abu Thalib paman beliau.

    Rasulullah berkata kepada Abu Tholib :

    يَا عَمِّ ! قُلْ لاَ ا لَهَ ا لاَّ اللَّهُ كَلِمَةً اَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللهِ

    “Wahai pamanku, ucapkanlah la ilaha illallah, sebuah kalimat yang dengannya aku akan menjadi saksi pembelamu di hadapan Allah kelak.”

    Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah yang berada di sampingnya pun menimpali:

    اَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ ؟!

    “Wahai Abu Thalib! Apakah engkau sudi membenci dan berpaling dari agama Abdul Muththalib?!”

    Maka kita katakan:

    1. Hal ini menyelisihi dalil yang sahih nan gamblang bahwa agama kakek Rasulullah  adalah agama yang dianut Abu Thalib dan Abu Jahl, yakni Paganisme atau penyembahan terhadap berhala.

    2. Bangsa Arab ketika itu memang tidak menyembah salib, sehingga wajar saja jika ia berlepas diri dari salib. Sehingga hal itu tidak bisa dijadikan landasan untuk mengatakan bahwa Abdul Muththalib adalah seorang yang bertauhid.

    3. Berlepas diri dari sesembahan yang dipersekutukan dengan Allah  pada keadaan genting tidak menunjukkan seseorang itu bertauhid. Bukankah pada beberapa ayat dalam Al-Qur’an, Allah telah menjelaskan bahwa musyrikin Quraisy pun berdoa tulus kepada Allah pada situasi genting nan membahayakan?! Namun ketika mereka sudah diselamatkan oleh Allah  dari kondisi tersebut, mereka kembali melakukan kesyirikan.

    Allah berfirman:

    ﴿فَإِّذَا رَكِّبُوا فِِّ الْفُلْكِّ دَعَوُا الَّلََّ مُُْلِّصِّيَ لََُ ا لِّينَ فَلَمَّا نَََّاهُمْ إِّلََ الْ بِّ إِّذَا هُمْ يُشْْ كُونَ ﴾

    "Dan ketika mereka menaiki bahtera di lautan, mereka berdoa tulus-ikhlas kepada Allah. Namun ketika Allah telah selamatkan mereka, ternyata mereka pun kembali mensekutukan Allah dengan sesembahan selainNya." (Q.S. Al-‘Ankabut:65)

    Rasulullah pun terus mengulangi seruannya tersebut, namun mereka berdua pun tak mau kalah mengulangi seruan mereka. Hingga akhirnya Abu Thalib mengikrarkan kata terakhirnya, bahwa ia tetap menganut agama Abdul Muththalib, dan enggan untuk bersyahadat laa ilaaha illallaah.

    Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

    اَمَ ا وَاللَّهِ لاَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ اُنْهَ عَنْكَ

    “Demi Allah! Aku akan terus memintakan ampunan untukmu selagi aku belum dilarang oleh Allah.”

    Terkait peristiwa tersebut, Allah pun menurunkan ayat: {tidaklah boleh bagi Nabi dan orang-orang yang beriman untuk memintakan ampun untuk orang-orang musyrik}. (34)

    Hadis ini sangat jelas menyebutkan bahwa Abu Thalib wafat di atas agama ayahnya, yaitu Abdul Muththalib, yang merupakan kakek Rasulullah. Jikalau kakek beliau seorang muslim, tidak mungkin Abu Thalib termasuk golongan musyrikin.

    Perhatikan juga bahwa Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah berusaha keras agar Abu Thalib tidak meninggalkan agama Abdul Muththalib. Ini jelas sekali menunjukkan bahwa agama Abu Jahal dan Abdul Muththalib adalah sama, yakni kesyirikan kepada Allah  dengan penyembahan kepada berhala.

    Ketiga : Allah 'Azza wa Jalla berfirman:

    ﴿وَتَقَلُّبَكَ فِِّ السَّاجِّدِّينَ ﴾

    “Dan (Dialah Yang Melihat) pergerakan badanmu bersama orang-orang yang sujud.” (35)

    Yang dimaksud adalah perpindahanmu antara tulang sulbi para nabi, hingga akhirnya engkau, wahai Muhammad, dilahirkan oleh ibumu. Ini berarti orang tua Rasulullah  tidak kafir, karena mereka termasuk orang-orang yang sujud.

    Bantahan :

    Pertama : Penafsiran yang benar untuk ayat ini adalah sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari:

    “Dan tafsirnya adalah: Bertawakkallah kamu kepada Allah  Yang Mahaperkasa lagi Maha Bijaksana, Yang Melihatmu tatkala engkau beranjak shalat, dan juga melihat pergerakanmu bersama orang-orang yang menjadi makmum-mu dalam shalat, mulai dari berdiri, ruku’, sujud, dan duduk.”

    Kedua : Menyelisihi dalil yang sahih nan gamblang bahwa ada diantara nenek moyang Rasulullah yang kafir, seperti Azar (ayah Nabi Ibrahim álaihissalam) dan kakek beliau Abdul Muththalib.

    Dalil Ketiga : Hadis yang menerangkan bahwa Allah 'Azza wa Jalla menghidupkan kembali orang tua Rasulullah  pada Haji Wada’. Dan hadis ini menghapus hadis-hadis lain yang menyatakan bahwa kedua orang tua Rasulullah  adalah kafir.

    Aisyah radhiallahu'anha berkisah:

    “Ketika itu Rasulullah pergi ke Hajun dalam keadaan sedih, kemudian beliau kembali dalam keadaan senang setelah menetap di sana beberapa waktu. Aku pun bertanya:

    ‘Wahai Rasulullah, engkau pergi ke Hajun dalam keadaan bersedih kemudian engkau kembali dalam keadaan senang setelah beberapa waktu menetap di sana. (Ada apakah gerangan?)’

    Rasulullah  pun menjawab: “Aku berdoa kepada Rabbku, kemudian Dia hidupkan kembali ibuku, kemudian ibuku pun beriman kepadaku, lalu Allah  pun mewafatkannya kembali.” (37)

    Bantahan :

    Pertama: hadis ini dinyatakan daif atau maudhu’ oleh para ahli hadis.

    Ia telah dinyatakan maudhu’ oleh: Ibnul Jauzi (bahkan beliau menyatakan bahwa pengarang cerita ini tidak berilmu dan kurang pemahamannya), Abul Fadhl bin Nashiruddin, Adz-Dzahabi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dan Mulla Ali Al-Qari.

    Ibnu Katsir menyatakan bahwa hadis ini munkarun jiddan, sedangkan Ibnu ‘Asakir menyatakannya sebagai hadis munkar.

    Dan juga, hadis ini termasuk hadis yang disepakati ke-daifannya oleh para ahli hadis, sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Al-‘Ajluni.

    Bahkan Imam Adz-Dahabi mengatakan:

    “Tidak diketahui siapa makhluk pendusta ini! Sungguh hadis ini adalah kedustaan dan menyelisihi hadis yang sahih periwayatannya dari Rasulullah bahwa beliau meminta izin kepada Rabbnya untuk memintakan ampun untuk ibunya, akan tetapi Rabbnya tidak mengizinkannya.”(46)

    Kedua : Selain daif, munkar, atau maudhu’, ia juga menyelisihi dalil yang sahih nan gamblang, serta menyelisihi kaidah umum yang masyhur nan disepakati oleh kaum muslimin, yakni tidak ada taubat setelah kematian. Dalil yang mengukuhkan kaidah ini terlalu banyak untuk disebut satu-persatu.

    Ketiga : Pada sebagian riwayat kisah karangan ini, disebutkan bahwa yang dihidupkan kembali adalah ayah dan ibu Rasulullah. Ini semakin memperjelas kepalsuan hadis ini, karena ayah Rasulullah tidaklah dikuburkan berdampingan dengan ibunya. Maka wajar jika Ibnul Jauzi mengatakan bahwa pengarang kisah ini adalah orang yang kurang akalnya.

    Keempat : Ibu beliau tidak dikuburkan di Hajun, akan tetapi di Abwa’. Ini adalah kesalahan fatal berikutnya, yang semakin memperjelas kepalsuan kisah ini.

    Dalil Keempat : Tidak ada hal yang lebih menyakitkan bagi Rasulullah  melebihi memvonis kedua orang tuanya dengan neraka, padahal menyakiti hati Rasulullah  adalah dosa besar. Dan juga, tidak boleh menyakiti orang yang masih hidup (yang dimaksud dalam konteks ini adalah Rasulullah) dengan menyebut-nyebut kerabatnya yang sudah mati (yakni kedua orang tua Rasulullah).

    Bantahan :

    Pertama : Kewajiban kita adalah tunduk kepada dalil, bukan kepada perasaan. Segala yang digariskan oleh Allah  dan Rasul-Nya wajib diterima, meskipun terasa sakit di hati.

    Kedua : Apakah Rasulullah tidak bersedih akan fakta bahwa pamannya wafat dalam keadaan kafir, serta turunnya ayat akan hal itu?!

    Akan tetapi beliau tunduk dan patuh dengan takdir dan syariat Allah, beliau pun menyampaikan kabar itu kepada para sahabatnya, dan melarang mereka dari memintakan ampunan untuk orang yang wafat dalam keadaan kafir, bagaimana pun kedudukannya.

    Ketiga : Apakah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak bersedih dengan turunnya ayat tentang larangan memintakan ampun untuk ibunya?

    Akan tetapi Rasulullah tetap menyampaikannya kepada para sahabat radhiallahu 'anhum ajma'in.

    Keempat : Penjelasan akan suatu hukum syariat tidak termasuk kategori menyakiti perasaan.

    Kelima : Tidak ada niatan menyakiti Rasulullah dengan pembahasan ini. Melainkan hanya bertujuan untuk menjelaskan kebenaran yang telah rancu dan disalahpahami oleh sebagian kalangan.

    PENUTUP

    Telah jelas bahwa permasalahan ini adalah permasalahan yang tidak boleh menimbulkan permusuhan apalagi “penggoblokan”, terlebih lagi “pengusiran”, dan yang melebihi itu. Para provokator hendaknya bertakwa kepada Allah, ingatlah bahwasanya mereka akan dihisab oleh Allah pada hari kiamat, dan Nabi shallallahu álaihi wasallam bersabda,

    الظُّ لمُ ظُلُمَا ت ي ومَ القِّيَامَةِّ

    “Kedzoliman adalah kegelapan yang bertumpuk-tumpuk pada hari kiamat”.

    Mayoritas ulama menyatakan bahwa kedua orang tua Nabi wafat dalam kondisi musyrik, walaupun ada sebagian ulama yang berpendapat sebaliknya.

    Jangan sampai ada kelompok ketiga “Syiáh” yang masuk di antara kaum muslimin melalui celah ini, untuk mengadu domba kaum muslimin. Wallahu a’lam.

    Akhir kata, saya ingin menyatakan bahwa niatan saya dalam menulis artikel ini, adalah sebagaimana ucapan Nabi Syu’aib alaihissalaam kepada kaumnya:

    "Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali." (Q.S. Hud : 88)

    Ceger, Jakarta Timur, 5 Juni 2020.

    LAMPIRAN : Penukilan perkataan para ulama yang menyatakan orang tua Nabi shallallahu álaihi wasallam wafat dalam kondisi musyrik

    Ulama Hanafiyah

    Pertama : Perkataan imam Abu Hanifah (wafat 150),

    أَنَّ وَالِّدَي هِّ - صَلَّى الَّلَُّ عَلَ يهِّ وَسَلَّمَ - مَاتََ عَلَى ال كُ فرِّ

    “Sesungguhnya kedua orang tua Nabi shallallahu álaihi wasallam wafat dalam kekufuran”

    Pernyataan Imam Abu Hanifah ini dinukil oleh para ulama Hanafiyah, sebagaimana yang dibawakan oleh Ibnu Abidin al-Hanafi, beliau berkata :

    “Dan hal tersebut tidak menafikan perkataan Imam Abu Hanifah dalam kitab al-fiqhu al-akbar bahwa kedua orang tua Nya (Rasulullah) shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal di atas kekafiran.”

    Hal serupa juga dinukilkan oleh Mula Ali Al-Qāri tentang perkataan Imam Abu Hanifah:

    ووالدا رسول الله صلى الله عليه وسلم ماتَ على الكفر

    “Dan kedua orang tua Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal di atas kekafiran.”

    Kedua : Dan Imam Ath-Thohawi (Wafat 321 H),

    Dalam kitabnya Syarh Musykil al-Aatsaar beliau membawakan suatu bab :

    “Bab penjelasan tentang kekurang jelasan apa yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu álaihi wasallam tentang memohon ampunan bagi orang-orang musyrikin antara dilarang dan dibolehkan” (Syarh Musykil al-Aatsaar 6/279)

    Dan Ath-Thohawi berpendapat bahwa boleh memohon ampunan bagi orang-orang musyrik selama mereka masih hidup karena masih diharapkan keimanan mereka, adapun jika mereka telah meninggal maka sudah tidak bisa lagi diharapkan keimanan mereka maka tidak boleh lagi memohon ampunan bagi mereka.

    At-Thohawi berkata :

    “Pada yang demikian itu dalil menunjukan akan bolehnya beristighfar bagi orang-orang musyrik selama iman mereka masih diharapkan, dan haram beristighfar bagi mereka jika putus asa dari keimanan mereka, dan hal itu tidaklah terjadi kecuali setelah wafatnya mereka” (Syarh Musykil al-Aatsaar 6/280)

    Lalu at-Thohawi menyebutkan tentang hadits-hadits yang berkaitan dengan larangan istighfar kepada orang-orang musyrik, diantaranya tentang hadits Ali bin Abi Tholib yang mengingkari seseorang yang memohon ampunan kepada kedua orang tuanya yang musyrik, demikian juga hadits tentang Nabi ingin memohon ampunan bagi Abu Tholib yang wafat dalam musyrik, dan terakhir beliau menyebutkan tentang hadits Nabi shallallahu álaihi wasallam menangis karena tidak diizinkan oleh Allah untuk memohon ampunan bagi ibunya . Beliau memandang bahwa ayat 113 dari surat At-Taubah bisa jadi adalah jawaban dari semua kejadian-kejadian tersebut. Beliau berkata

    Maka Allah yang maha tahu dari sebab turunnya dari yang telah kita baca (ayat at-taubah 113), akan tetapi bisa jadi sebab turunnya ayat -setelah seluruh yang kami sebutkan- karena sebab Abu Tholib, bisa juga karena sebab Ali Bin Abu Tholib ketika mendengar ada orang yang memohon ampunan untuk kedua orangtuanya, bisa juga karena sebab ziyaroh Nabi kekuburan ibunya, bisa juga karena sebab Nabi meminta kepada Allah ketika meminta izin untuk memohonkan ampunan kepada ibunya, maka sebab turun ayat yang kita baca bisa untuk semua yang kami jawab (sebutkan). (50)

    Ketiga : As-Sarokhsi (wafat 483 H)

    Ketika menjelaskan tentang sahnya pernikahan orang-orang kafir/musyrik diantara mereka, beliau berkata:

    “Dan pernikahan orang-orang kafir diantara mereka hukumnya adalah sah, kecuali menurut pendapat Imam Malik rahimahullah taála. Beliau berpendapat bahwa pernikahan mereka (orang-orang kafir) adalah batil (tidak sah), karena pernikahan adalah kenikmatan dan kemuliaan yang ditetapkan secara syariát, sementara orang kafir tidak diperkenankan berhak mendapatkan semisal kenikmatan dan kemuliaan tersebut. Akan tetapi kami (madzhab Hanafi) berdalil dengan firman Allah :

    “Dan (begitu pula) istrinya (istri Abu Lahab), pembawa kayu bakar” (QS Al-Masad : 4)

    Kalau bukan karena nikah mereka sah tentu Allah tidak akan menamakan wanita itu dengan “istri” Abu

    Lahab. Nabi shallallahu álaihi wasallam bersabda, “Dan aku lahir dari pernikahan dan bukan dari perzinahan”…” (51)

    Perhatikanlah as-Sarokhsi berdalil tentang sahnya pernikahan orang-orang kafir dengan sahnya pernikahan Abu Lahab dengan istrinya, dan juga beliau berdalil dengan lahirnya Nabi dari pernikahan bukan dari perzinahan. Tentu ini menunjukan bahwa beliau berpandangan bahwa orang tua Nabi shallallahu álaihi wasallam adalah kafir, jika tidak kafir maka tentu pendalilannya tidak pas.

    Keempat : ‘Ala Ad-Din Al-Kaasani (wafat 587) :

    “Dan Nabi bersabda: “Aku dikahirkan dari pernikahan dan aku tidak dilahirkan dari perzinaan” , walalupun kedua orangtuanya kafir, karena ucapan rusaknya pernikahan mereka (orang-orang kafir) menghasilkan perkara yang buruk yaitu mencela kebanyakan keturunan dari para Nabi ‘alahim as-

    Kelima : Jamaluddin Abu Muhammad ‘Ali Bin Abu Yahya Zakariya Bin Mas’ud Al-Anshory Al-Khozroji Al-Manbaji (wafat 686), beliau berkata :

    “sesungguhnya kuburan yang kalian melihatku bermunajat Adalah kuburan Aminah Binti Wahb, dan sungguh aku meminta Tuhanku Azza wa Jalla untuk mengampuninya dan aku tidak mendapatkan idzin, kemudian turun kepadaku sebuah ayat,

    “tidak boleh bagi Nabi dan orang-orang yang beriman untuk memohonkan ampunan untuk orang-orang musyrik” (At-Taubah: 113) dan ini menjadikan rasa lembut sebagaimana lembutnya anak kepada orangtuanya, dan itulah yang menyebabkan aku menangis, ketahuilah dulu aku melarang kalian untuk menziarahi kubur maka kalian ziarahlah karena hal tersebut menyebabkan kalian zuhud dari dunia dan memberi semangat di akhirat.

    ini menunjukkan bahwasanya memohon ampunan bermanfaat untuk orang-orang yang beriman. (54)

    Bisa disimpulkan ketika dilarangnya memohon ampunan kepada ibunya menunjukkan bahwa ibunya tersebut bukan termasuk orang-orang yang beriman.

    Keenam : Badruddin al-Áini (wafat 855 H).

    Ketika menjelaskan tentang sahnya pernikahan orang-orang kafir/musyrik diantara mereka, beliau berkata:

    “Karena pernikahan orang-orang kafir diantara mereka adalah sah kecuali pendapat Imam Malik, menurut beliau pernikahan mereka (orang-orang kafir) tidaklah sah. Dan Kami (menyatakan sah) berpendapat dengan dalil firman Allah :

    “Dan (begitu pula) istrinya (istri Abu Lahab), pembawa kayu bakar” (QS Al-Masad : 4)

    Kalau bukan karena nikah mereka sah tentu Allah tidak akan menamakan wanita itu dengan “istri” Abu Lahab. Nabi shallallahu álaihi wasallam bersabda,

    “Dan aku lahir dari pernikahan dan bukan dari perzinahan”…” (55)

    Perhatikanlah al-Áini berdalil tentang sahnya pernikahan orang-orang kafir dengan sahnya pernikahan Abu Lahab dengan istrinya, dan juga beliau berdalil dengan lahirnya Nabi dari pernikahan bukan dari perzinahan. Tentu ini menunjukan bahwa beliau berpandangan bahwa orang tua Nabi shallallahu álaihi wasallam adalah kafir, jika tidak kafir maka tentu pendalilannya tidak pas.

    Ulama Malikiyah

    Pertama : Al-Qodhi Íyadh (544 H)

    “Dan sabda Nabi shallallahu álaihi wasallam kepada orang yang bertanya kepada beliau, “Di manakah ayahku?”, lalu Nabi menjawab, “Di neraka”. Tatkala orang tersebut balik pergi maka Nabipun memanggilnya lalu berkata, “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka”, termasuk bentuk teragung dari akhlak yang mulia, sikap dalam pergaulan, serta pelipur lara (bagi orang tersebut), karena ketika orang tersebut mengabarkan kepada Nabi apa yang ia

    kabarkan, dan Nabi melihat bahwa musibah tersebut besar bagi orang tersebut, maka Nabipun mengabarkan bahwa musibah beliau sama dengan musibah orang tersebut agar orang tersebut mencontohi beliau” (56)

    Kedua : Abul ‘Abbas Al-Qurthubi (wafat 656 H)

    Dan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka” adalah penghibur bagi orang tersebut atas musibah yang dialaminya, dan Nabi mengarahkannya untuk bersabar hingga musibah orang tersebut tentang ayahnya terasa lebih ringan baginya…. Dan faidah hadits ini adalah terputusnya perwalian antara seorang muslim dan kafir meskipun kerabat dekat” (Al-Mufhim 1/460-461)

    Ketiga : Al-Qaraafi (w 684 H) menerangkan:

    “Penyebutan khilaf tentang Rasulullah shallallāhu 'alaihi wasallam sebelum tiba kenabian beliau beribadah dengan syariat nabi terdahulu maka hal ini harus dikhususkan dalam furu’ saja bukan ushul. Karena manusia pada masa jahiliyah dibebani dengan pokok-pokok akidah berdasarkan ijma’ ulama, karenanya telah terjadi ijma’ yang menyatakan bahwa mereka yang meninggal dunia berada di neraka dan diadzab karena kekafiran mereka, seandainya tidak ada taklif (beban syariat) maka mereka diadzab. Maka Rasulullah dibebani dengan syariat sebelum beliau tanpa ada perselisihan, yang diperselisihkan hanyalah dalam furu’ saja, maka keumuman ucapan para ulama dikhususkan dengan ijma’.” (57)

    Isyarat bahwa kondisi seseorang di masa fatroh di zaman jahiliyah tidak menjadikan mereka selamat jika mereka terjerumus dalam kekufuran.

    Ulama Syafi’iyah

    Pertama : al-Maawardi (wafat 450 H)

    Beliau berdalil tentang sahnya pernikahan orang-orang kafir dengan sabda Nabi

    “Dan aku lahir dari pernikahan dan bukan dari perzinahan”

    Setelah itu beliau berkata :

    “Dan pernikahan bapak dan kakek Nabi shallallahu álaihi wasallam dalam kesyirikan menunjukan akan sahnya pernikahan tersebut” (58)

    Pendalilan yang sama juga dilakukan oleh para ulama fikih madzhab Syafií lainnya, diantaranya :

    Kedua : Al-Juwaini (wafat 478 H) (59)

    Ketiga : Abul Husain al-Ímroni al-Yamani (wafat 558 H) (60)

    Keempat : Ar-Roofií (wafat 623 H) (61)

    Kelima : Ibnu ar-Rifáh (wafat 710 H) (62)

    Keenam : Al-Baihaqi (wafat 458 H),

    Beliau membawakan bab yang berjudul :

    “Bab penyebutan tentang wafatnya Abdullah ayah Rasulullah shallallahu álaihi wasallam, wafatnya ibunya Aminah binti Wahab, dan wafatnya kakeknya Abdul Muthholib bin Hasyim”.

    Setelah itu Al-Baihaqi membawakan hadits-hadits tentang sabda Nabi “Ayahku dan ayahmu di neraka”, lalu hadits tentang Nabi menangis karena dilarang beristighfar untuk ibunya, dan terakhir tentang hadits perkataan Nabi mengingkari Fatimah radhiallahu ánhaa dengan berkata,

    “Kalau engkau ikut mereka sampai di kuburan maka engkau tidak akan melihat surga hingga kakek ayahmu melihat surga”

    Setelah itu al-Baihaqi berkata :

    “Kakeek ayahnya adalah ‘Abdul Muttholib bin Hasyim. Bagaimana tidak kedua orang tua Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan juga kakeknya tidak dikatakan dengan sifat demikian (ayahnya di neraka, ibunya tidak boleh dimononkan istighfar, dan kakeknya tidak melihat surga)? Sedangkan mereka menyembah berhala sampai mereka meninggal, dan mereka tidak beragama dengan agama Isa bin Maryam ‘Alaihissalam. Kondisi mereka ini tidaklah menjadikan nasab Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tercela karena pernikahan orang-orang kafir sah” (63).

    Al-Baihaqi juga berkata :

    “Kedua orang tua Nabi shallallahu álaihi wasallam musyrik” (64).

    Lalu al-Baihaqi menyebutkan dalil sabda Nabi “Ayahku dan ayahmu di neraka”, dan juga hadits tentang Nabi dilarang memohon ampun untuk ibunya.

    Ketujuh : Al-Halimi (wafat 403 H):

    Akan tetapi pernyataan beliau tidak tegas dan jelas terhadap kedua orang tua Nabi shallallahu álaihi wasallam, akan tetapi beliu beliau mengisyaratkan bahwa orang-orang di zaman Jahiliyah (di masa fatroh) kemungkinan besar telah mendengar dakwah nabi-nabi sebelumnya. Beliau membawakan sebuah bab :

    “Bab pendapat tentang orang yang tidak sampai dakwah kepadanya”

    Kemudian beliau berkata :

    “Jika diantara mereka ada orang yang berakal dan mumayyiz (bisa membedakan) jika ia mengamati dan meneliti, hanya saja ia tidak meyakini suatu agama, maka ia kafir. Karena sesungguhnya meskipun ia tidak mendengar dakwah Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam maka tidak diragukan ia pasti telah mendengar dakwah salah seorang dari nabi-nabi yang sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena jumlah nabi-nabi tersebut banyak, serta lamanya masa dakwah mereka, demikian juga banyaknya orang-orang yang beriman dengan mereka dan mengikuti mereka dan orang-orag yang kafir kepada mereka dan menyelisihi mereka. Karena khabar terkadang sampai kepada lisan orang yang setuju(65). Dan jika ia mendengar tentang dakwah apapun kepada Allah lalu ia berdalil dengan akalnya untuk menilai kebenaran dakwah tersebut, dan dia termasuk orang yang mampu untuk beristidlal dan mengamati, maka dengan demikian ia telah berpaling dari dakwah maka ia telah kafir, wallahu a’lam” (66)

    Kedelapan : An-Nawawi (wafat 676 H)

    Beliau membari judul tentang hadits Nabi “Ayahku dan ayahmu di neraka” dengan judul :

    (65) Yang termaktub dalam kitab yang tercetak فإن الخبْ قد يبلغ على لسان الموافق “Sesungguhnya khabar terkadang sampai melalui lisan orang yang setuju” (Al-Minhaaj fi Syuáb al-Iman 1/175). Namun wallahu a’lam yang lebih tepat lafal الممُوافِق diganti dengan الْمُ م خالِف “yang menyelisihi”. Karena maskud al-Halimi rahimahullah yaitu orang yang hidup di masa fatroh sangat besar kemungkinan telah sampai khabar tentang dakwah para nabi kepadanya, baik melalui para pengikut nabi-nabi tersebut atau bisa jadi melalui orang-orang yang menyelisihi para nabi tersebut yang membicarakan dakwah para nabi. Wallahu a’lam.

    As-Sunan al-Kubro 7/308

    “Bab penjelasan bahwasanya siapa yang mati dalam kondisi kafir maka di neraka”.

    Setelah itu beliau berkata :

    “Dan di dalam hadits ini terdapat faedah: bahwa siapa saja yang meninggal di masa fatroh (kosong dari nabi) sedang dia berada di atas apa yang orang-orang arab lakukan, dari menyembah berhala, maka dia termasuk penduduk neraka. Dan yang demikian tidak termasuk mengadzab sebelum sampainya dakwah. Karena mereka itu adalah orang-orang yang telah sampai kepada mereka dakwah nabi Ibrahim 'alaihissalam dan para nabi-nabi yang lainnya semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada mereka semua”. (67)

    An-Nawawi juga mengomentari hadits tentang Nabi dilarang beristighfar kepada ibunya dengan berkata :

    “Diantara faidah hadits ini: bolehnya menziarahi orang musyrik tatkala mereka masih hidup, dan boleh menziarahi kuburan mereka setelah mereka meninggal. Karena jika boleh menziarahi sepeninggal mereka maka tatkala masih hidup lebih boleh, dan Allah azza wa jalla berfirman : (dan bergaullah dengan mereka berdua (orang tua yang kafir) dengan baik). Dan di antara faidah hadits ini : dilarangnya memintakan ampun untuk orang kafir” (68)

    Kesembilan : Adz-Dzahabi (wafat 748 H)

    Beliau berkata :

    “Abdul Wahhab bin Musa dari ibnu ‘Abdirrahman bin Abi Azzinad meriwayatkan hadits: sesungguhnya Allah azza wa jalla menghidupkan ibuku untukku, lalu ia beriman kepadaku….. al hadits.

    Tidakkah si hewan pendusta ini tahu?, sesungguhnya hadits ini adalah dusta yang menyelisihi hadits yang shahih bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam meminta izin kepada Allah azza wa jalla untuk memintakan ampun untuk ibunya maka Allah azza wa jalla tidak mengizinkannya (69).

    Yaitu Adz-Dzahabi mendustakan hadits ini karena kontennya menyatakan ibu Nabi beriman, sementara hadits yang shahih menyatakan ibu Nabi musyrik sehingga Nabi dilarang memohon ampunan untuknya.

    Kesepuluh : Ibnu Katsir (wafat 774 H):

    “Adapun pengkhabaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentang kedua orang tua beliau dan kakek beliau ‘Abdul Muttholib, bahwa mereka semua di neraka, maka tidak ada pertentangan dengan hadits yang diriwayatkan dari beberapa jalur bahwa ahlu fatroh dan anak-anak dan orang gila dan bisu, mereka semua akan di uji pada hari kiamat, sebagaimana yang sudah kami paparkan dari segi sanad dan matan dalam kitab tafsir kami tatkala menafsirkan ayat (dan tidaklah kami mengadzab suatu kaum sampai kami mengutus kepada mereka seorang Rasul), maka mereka ada yang menerima ada yang menolak.

    Dan mereka (orang tua Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan kakek beliau) termasuk orang yang tidak menerima, maka tidak ada pertentangan alhamdulillah (70).

    “Dan Rasulullah shallallahun álaihi wasallam telah mengkhabarkan telah mengabarkan tentang kedua orang tua beliau bahwasanya mereka adalah penduduk neraka, sebagaimana yang dijelaskan di dalam hadits shohih” (71).

    Kesebelas : Ibnu al-Khothiib al-Yamani (Ibn Nuuruddiin As-Syafií) wafat 825 H. Beliau berkata :

    “Engkau mengetahui bahwasanya perkataan orang yang berkata, “Sesungguhnya Allah membangkitkan kedua orang tua Nabi kepada Nabi, lalu mereka berdua beriman kepadanya, kemudian mereka berdua wafat dalam kondisi beriman” merupakan sikap berlebih-lebihan (ekstrim) dalam agama tanpa hak, dan mengantarkan kepada kekufuran dan kesesatan. Barang siapa yang menyangka atau ragu bahwa orang yang mati di atas kekufuran masuk surga maka ia telah

    kafir, dan kita berlindung kepada Allah dari keyakinan yang mengantarkan kepada kesesatan. Tidakkah orang yang beperndapat demikian melihat kepada sabda Nabi shallallahu álaihi wasallam, “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka”, dan sabda Nabi tentang ibunya, “Aku meminta izin kepada Allah untuk beristighfar bagi ibuku namun Allah tidak mengizinkan aku, dan aku minta izin untuk menziarahi kuburannya maka Allah mengizinkan aku”, atau sebagaimana sabda beliau. Allah -yang maha suci- bebas melakukan apa saja pada makhluqNya yang Dia kehendaki, Dia memutuskan apa yang Dia kehendaki pada mereka, dan meskipun NabiNya shallallahu álaihi wasallam adalah sangat mulia di sisiNya maka DIa tidak ditanya tentang apa yang Dia lakukan, dan merekalah yang akan ditanya”

    Kedua belas : Ibnu Hajar Al ‘Asqalani (wafat 852 H)

    Adapun Ibnu Hajar, beliau memilih pendapat bahwa Ibu Nabi wafat dalam kondisi musyrik. Akan tetapi untuk kakek Nabi dan ayahnya maka Ibnu Hajar tidak menyatakan mereka wafat dalam kondisi Islam, akan tetapi beliau memandang bahwa kakek Nabi wafat di masa fatroh sehingga akan diuji di kemudian hari.

    Berikut pernyataan-pernyataan beliau.

    Pertama : Adapun tentang Ibu Nabi, maka Ibnu Hajar membenarkan bahwa salah satu sebab turunnya firman Allah :

    “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam” (QS 9 : 113)

    adalah tentang tidak dizinkannya Nabi shallallahu álaihi wasallam memohon ampunan bagi ibunya. Berikut perkataan beliau :

    “Dan jadinya ada dua sebab turunnya ayat tersebut (QS At-Taubah : 113), yang satu sudah terdahulu yaitu tentang Abu Thalib dan yang satunya lagi datang kemudian yaitu tentang Aminah (ibunda Nabi)”.

    Ini menunjukan bahwa beliau memilih pendapat bahwa ibu Nabi wafat dalam kondisi musyrik.

    Adapun berkaitan dengan ayah dan kakek Nabi shallallahu álaihi wasallam maka Ibnu Hajar memandang mereka termasuk ahli fatroh dan akan diuji, dan beliau berharap mereka lulus dalam ujian tersebut. (Yaitu beliau tidak memandang mereka wafat dalam kondisi Islam, karenanya beliau menukil bantahan Ibnu Katsir terhadap al-Qurthubi, dimana Ibnu Katsir menjelaskan dhoífnya hadits tentang Nabi menghidupkan kembali kedua orang tuanya untuk beriman)

    Ibnu Hajar dalam kitabnya al-Ishoobah (tentang biografi Abu Tholib paman Nabi), beliau membantah periwayatan Syiáh Rofidhoh yang menyatakan bahwa Abu Tholib wafat dalam kondisi Islam, demikian juga riwayat yang menyatakan bahwa Abdul Muttholib kakek Nabi di surga. Setelah itu beliau berkata :

    “Dan hadits yang terakhir (tentang ujian bagi bagi orang tua dan anak kecil yang wafat sebelum sampai dakwah kepadanya) telah datang dari banyak jalur yaitu yang berkaitan dengan orang tua yang pikun, dan orang yang wafat di masa fatroh serta seseorang yang dilahirkan dalam kondisi buta dan tuli, dan yang dilahirkan dalam kondisi gila atau ia ditimpa gila sebelum baligh…dan aku telah mengumpulkan jalur-jalur periwayatannya di satu tulisan tersendiri, dan kami berharap bahwasanya Abdul Muttholib dan ahlu baitnya termasuk dari orang-orang yang masuk ke dalamnya (ketika diuji Allah) dalam kondisi taát lalu selamat. Akan tetapi telah datang dalil yang menunjukan bahwa Abu Tholib tidak selamat yaitu ayat 113 dari surat at-Taubah”

    Ketiga belas : Al-Biqooí (wafat 885 H):

    Setelah beliau menjelaskan tentang hadits-hadits yang menyebutkan Ámr bin Luhay al-Khuzaí yang divonis masuk neraka oleh Nabi padahal ia mati di masa fatroh, maka al-Biqooí berkata :

    “Maka batal-lah apa yang dikatakan bahwa ahlul fatroh jahil (tidak tahu) dengan kejahilan yang menjadikan mereka tidak tercela. Dan hal ini di dukung dengan yang ada pada shahih Muslim dari Anas radhiallahu ánhu bahwasanya ada seseorang yang berkata, “Wahai Rasulullah di manakah ayahku?”. Nabi berkata, “Di neraka”. Tatkala orang itu pergi maka Nabipun memanggilnya lalu berkata kepadanya, “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka” (76)

    Ulama Hanabilah

    Pertama : Abul Mudzoffar yahya bin Hubairoh (wafat 560 H) Beliau berkata tentang hadits “Ayahku dan ayahmu di nerkata” :

    “Tatkala si penanya berpaling maka Nabi shallallahu álaihi wasallam ingin mengajarkan kepadanya agar ia mencontohi Nabi shallallahu álaihi wasallam dalam hal ridho kepada keputusan Allah, maka Nabi berkata kepadanya, “Dan ayahku juga di neraka”. Maka jawaban ini cukup bagi siapa saja -setelah Nabi- yang di dadanya ada kegelisahan. Karena jika memang seorang anak bisa memberi manfaat kepada ayahnya yang musyrik tentu Nabi shallallahu álaihiw asallam yang paling utama. Ketika Nabi menegaskan bahwa ayahnya di nereka maka perkataan Nabi ini memutuskan persangkaan-persangkaan orang-orang yang berprasangka hingga hari kiamat” (77) Kedua : Ibnul Jauzi (wafat 597 H)

    “Abdullah, yakni ayah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meninggal ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masih dalam kandungan. Dan tidak ada khilaf (perselisihan) bahwasanya ia (ayah Nabi) mati dalam keadaan kafir, begitu juga Aminah meninggal dunia sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berumur enam tahun.” Lalu Ibnul Jauzi menyebutkan hadits tentang Allah membangkitkan kembali Aminah lalu Aminah beriman, hadits tersebut adalah :

    Dari ‘Aisyah berkata: Kami melaksanakan haji wada’ bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melewati ‘aqabah Al-Hajun’ (tempat dimakamkan ibunda Nabi shallallallahu ‘alaihi wasallam) sedangkan beliau menangis merasakan kesedihan yang berat. Akupun ikut menangis karenanya, kemudian beliau turun seraya berkata: Wahai Humairah (‘Aisyah) tunggulah, lalu aku bersandar pada sisi unta dan menunggu lama. Kemudian beliau kembali dalam keadaan tersenyum gembira. Lantas aku berkata: Demi bapak dan ibuku sebagai jaminan, engkau turun dalam keadaan menangis sedih dan aku ikut menangis karenamu, kemudian engkau kembali dalam keadaan tersenyum gembira, ada apa wahai Rasulullah? Kemudian beliau bersabda: “Aku pergi ke tempat dimakamkan Aminah, lalu aku meminta kepada Allah agar menghidupkannya, lantas dia menghidupkannya dan beriman kepadaku, lalu Allah mengembalikan Aminah ke kuburannya lagi”. Setelah itu Ibnul Jauzi mengomentari hadits tersebut dengan berkata :

    “Tidak diragukan lagi, ini adalah hadits palsu. Yang memalsukannya adalah orang yang tidak paham, tidak memiliki ilmu. Seandainya dia berilmu pasti tahu bahwa orang yang mati dalam keadaan kafir, imannya sama sekali tidak bermanfaat ketika dibangkitkan kembali. Bahkan jika dia beriman ketika dalam kondisi mu’ayanah (yaitu dalam kondisi sakaratul maut dan telah melihat malaikat-pen) maka imannnya tidaklah bermanfaat. Cukuplah hadits palsu ini dibantah dengan firman Allah

    فَ يَمُ ت وَهُوَ كَافِّ ر فَأُولَئِّكَ حَبِّطَ ت أَ عمَالَُ م فِِّ الدُّن يَا وَا لْخِّرَةِّ وَأُولَئِّكَ أَ صحَابُ النَّارِّ

    هُ م فِّيهَا خَالِّدُونَ

    Lalu dia meninggal dalam keadaan kafir, maka amal-amalnya di dunia dan akhirat akan tertutup. Mereka itulah penduduk neraka sedangkan mereka kekal di dalamnya. (Al-Baqarah: 217)”.

    Ketiga : Najmuddin, Sulaiman bin Abdil Qowiy (wafat 716 H)

    Setelah menyebutkan tentang hadits tentang kedua orang tua nabi musyrik, maka beliau berkata :

    “Tidak ada pelanggaran syariát dalam hal ini, karena ayah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam adalah kafir. Dan karena dalam kaidah agama islam bahwa orang kafir di dalam neraka. Kedua orang tua Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kafir maka keduanya dihukumi sesuai dengan hukum Allah” (79) 

    Keempat : Ibnu Taimiyyah (wafat 728 H) 

    Ibnu Taimiyyah ditanya tentang hadits Sesungguhnya Allah tabaaraka wa ta’ala menghidupkan kedua orang tua Nabi kemudian memeluk agama islam karenanya, kemudian meninggal dunia setalah itu. Beliau menjawab : 

    “Hadits tersebut tidak seorangpun ahli hadits yang menshahihkannya. Bahkan mereka sepakat bahwa hadits tersebut bohong dan dibuat-buat, meskipun Al-Khathib Abu Bakar dalam kitabnya ‘As-Sabiq Wa Al-Lahiq’, dan disebutkan oleh Abu Al-Qashim As-Suhailiy di dalam ‘Syarhu As-Sirah’ dengan sanad yang banyak para perawi majhulnya, dan disebutkan pula oleh Al-Qurthubiy menyebutkan semua hadits palsu ini di dalam ‘At-Tadzkirah’, dan semisal buku-buku seperti ini, maka tidak ada perselisihan pada ahli ilmu bahwa hadits ini merupakan hadits yang paling nyata kepalsuan dan kebohongannya sebagaimana dinyatakan oleh para ulama.

    Hadits ini juga sama sekali tidak disebutkan di dalam kitab-kitab hadits yang menjadi rujukan. Tidak dalam Shahihain, Kutubus Sittah, Kitab-kitab Musnad dan kitab-kitab hadits yang dikenal. Tidak juga disebutkan oleh para penulis buku-buku sirah Nabi dan juga para penulis tafsir padahal mereka juga terkadang meriwayatkan hadits yang dhaíf. Hal ini karena kedustaannya sangat nampak dan tidak samar bagi orang yang beragama. Karena khabar seperti ini kalau benar terjadi tentu orang-orang termotivai untuk meriwayatkannya, karena ini termasuk mukjizat yang terbesar dari dua sisi, (1) dari sisi menghidupkan mayat, dan (2) dari sisi bisa beriman setelah kematian”.

    Kelima : Ibnul Qoyyim (wafat 751 H)

    Beliau berkata :

    “Dan sabda beliau: “Setiap kali engkau melewati kuburan orang kafir, maka katakanlah Muhammad mengutusku kepadamu”… dalil bahwa siapa saja yang mati dalam keadaan musyrik maka ia di neraka, meskipun ia mati sebelum diangkat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjadi nabi. Karena orang-orang musyrik sejatinya mereka itu merubah agama yang lurus, agama Ibrahim 'alaihissalam, dan mereka menggantinya dengan kesyirikan dan mereka melanggarnya, dan tidak ada alasan bagi mereka dihadapan Allah dengannya. Buruknya kesyirikan dan ancaman akan adzab neraka atas kesyirikan senantiasa diketahui dari agama-agama para rasul semuanya dari awal sampai akhir. Dan adalah cerita-cerita adzab Allah atas pelaku kesyirikan tersebar dan masyhur di kalangan semua ummat pada setiap zamannya. Maka dari itu sungguh telah tegak hujjah Allah yang nyata bagi orang-orang musyrik setiap waktu. Kalaupun seandainya tidak ada hujjah kecuali apa yang Allah fitrahkan kepada hambanya dari tauhid rububiyyahnya yang mengharuskan mentauhidkan Allah pada tauhid uluhiyyahnya, dan dikarenakan mustahil menurut fitrah dan akal yang bersih bahwa ada tuhan selain Allah. Meskipun Allah 'Azza wa Jalla tidak mengadzab dengan konseksuensi dari fitrah ini semata, akan tetapi dakwah para rasul untuk mentauhidkan Allah 'Azza wa Jalla benar-benar diketahui oleh penduduk bumi, dan orang yang musyrik itu diadzab karena ia menyelisihi dakwah rasul”

    Keenam : Ibnu ‘Adil, wafat 775 H, Beliau berkata :

    “Para ulama berselisih tentang apakah yang tenggelam itu adalah anaknya Nabi Nuh?. Dikatakan itu adalah benar-benar putranya nabi Nuh berdasarkan nash al-Qurán. Dan memalingkan lafal (yang jelas) ini kepada “anak didikan” (bukan anak asli)...merupakan pemalingan dari makna hakiki kepada makna majaz tanpa ada darurat. Dan yang menyelisihi dzhahir ayat ini hanyalah menyelisihinya karena memandang tidak mungkin anak seorang rasul adalah kafir. Namun hal ini tidaklah mustahil, karena telah valid bahwa orang tua Rasulullah adalah kafir(82), maka demikian pula di sini”

    Selain itu banyak ulama fikih Hanbali yang berdalil tentang sahnya pernikahan orang kafir dengan sabda Nabi shallallahu álaihi wasallam

    “Dan aku lahir dari pernikahan dan bukan dari perzinahan”

    Tentu ini menunjukan bahwa mereka (para ulama fikih Hanbali) berpandangan bahwa orang tua Nabi shallallahu álaihi wasallam adalah kafir, jika tidak kafir maka tentu pendalilannya tidak pas. Diantara para ulama fikih Hanbali tersebut adalah ;

    Ketujuh : Abu Ali al-Hasyimi al-Baghdaadi (wafat 428 H) (84)

    Kedelapan : Abu Muhammad, Ibnu Qudamah (wafat 620 H) (85)

    Kesembilan : Abul Faroj Ibnu Qudamah (wafat 682 H) (86)

    Kesepuluh : Burhaanuddin, Ibnu Muflih (wafat 884 H) (87)


    Ulama Hadits

    Pertama : Ibnu Majah (wafat 273 H),

    Dalam kitabnya “as-Sunan” beliau membawakan hadits Nabi menziarahi kuburan ibunya no 1572 dalam bab َيِّكِّر شُم لا ِّروُبُ ق ِّةَرَيَِّز ِّ فِ َءاَج اَم ُبَبِ : “Tentang menziarahi kuburan orang-orang musyrik”

    Kedua : An-Nasaí (wafat 303 H)

    Dalam kitab al-Mujtaba dan as-Sunan al-Kubro, beliau memberi judul tentang hadits Nabi menziarahi kuburan ibunya dengan judul : زِّيََرَةُ قَ بِّْ ال مُ شرِّكِّ “Ziarah kuburan orang musyrik”

    Ulama Tafsir

    Adapun para ahli tafsir yang berpendapat orang tua nabi meninggal dalam kondisi musyrik sangatlah banyak. Silahkan merujuk perkataan mereka ketika menafsirkan firman Allah :

    “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam” (QS at-Taubah : 113)

    Mereka semua menyebutkan sebab nuzul ayat ini adalah tentang Nabi tidak diizinkan untuk memohon ampunan bagi ibunya. Hal ini karena ibunda beliau wafat dalam kondisi musyrik.

    Para ahli tafsir tersebut :

    (1) Muqotil bin Sulaiman 150 H (Tafsir Muqotil bin Sulaiman 2/199)

    (2) At-Thobari 310 H (Tafsir at-Thobari 14/512 dan 2/560)

    (3) Abu al-Laits As-Samarqondi 373 H (Barul Úluum 2/91)

    (4) Abu Ishaaq ats-Tsa’labi 427 H (al-Kasy wa al-Bayaan án Tafsiir al-Qurán 5/100-101)

    (5) Abu Muhammad al-Andalusi Al-Qurthubi 437 H (al-Hidaayah ilaa Buluug an-Nihaayah 4/3171-3172)

    (6) Al-Mawardi 450 H (An-Nukat wa al-Úyuun 2/409)

    (7) Al-Wahidi 468 H (Al-Wasiith fi tafsiir al-Qur’an al-Majiid 2/528)

    (8) Abul Mudzoffar as-Samáani 489 H (Tafsiir al-Qurán 2/352-353)

    (9) Al-Baghowi 510 H (Maáalim at-Tanziil fi Tafsiir al-Qurán 2/394)

    (10) Az-Zamakhsyari 538 H (Al-Kassyaaf 2/315)

    88-88

    (11) Ibnu Áthiyyah 542 H (Al-Muharror al-Wajiiz 3/90)

    (12) Ibnul Árobi 543 H (Ahkamul Qurán 2/592)

    (13) Fakhr ar-Raazi 606 H (Mafaatiih al-Ghoib / at-Tafsiir al-Kabiir 17/350)

    (14) Al-Baidhowi 685 H (Anwaar at-Tanziil wa Asroor at-Ta’wiil 3/99)

    (15) Abu Hayyaan al-Andalusi 745 H (al-Bahr al-Muhiith 5/512)

    (16) Ibnu Katsir 774 H (Tafsiir al-Qurán al-Ádziim 4/222)

    (17) Abu Hafsh Ali bin ‘Adil Al-Hanbali 775 H ( Al-Lubab fii ‘Uluumil Kitab 10/494)

    (18) Nidzoomuddin an-Naisaaburi 850 H (Ghoroibul Qurán wa Roghoibul Furqon 3/538)


    Artikel ini dikutip dari E-Book Wahabi Goblok Sebuah Pencerahan (Ustadz DR. Firanda Andiirja Lc MA)

    Tidak ada komentar

    Diberdayakan oleh Blogger.