Benarkah Aqiqah Hukumnya Wajib?

    Kebanyakan orang tua di Indonesia meyakini bahwa setiap anak yang dilahirkan harus diaqiqahi pada hari ketujuh setelah hari kelahirannya. Benarkah aqiqah hukumnya wajib? Bagaimana pendapat Mayoritas ulama tentang aqiqah?

    Hukum Aqiqah Menurut Pendapat Ulama Mazhab

    Sudah menjadi pengetahuan bersama, dalam persoalan fikih akan selalu dijumpai adanya perbedaan pendapat dari kalangan ulama fikih, terutama ulama fikih empat Mazhab. Tak terkecuali dalam persoalan hukum aqiqah. Bagi seorang muslim biasa, dengan berpegang pada pendapat mayoritas ulama fikih insya Allah akan lebih selamat dari kekeliruan.

    Ulama fikih mazhab Syafi’I dan pendapat masyhur Mazhab Hanbali menyatakan bahwasanya hukum aqiqah sunnah muakkadah. (Nihayatul Muhtaj, 8/137. Al-Majmu’, Imam an-Nawawi, 8/435. Mathalib Ulin Nuha, 2/488. Mughnil Muhtaj, 4/293)

    Ulama yang berpendapat demikian berdalil dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

    عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ-صلى الله عليه وسلم-قَالَ «كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى»

    Dari Samurah bin Jundub, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya dan diberi nama.” (HR. Abu Daud no. 2838, An-Nasai no. 4220, Ibnu Majah nol. 3165, Ahmad 5/12. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

    Pendapat madzhab ini memahami bahwa makna dari murtahanun atau tergadaikan adalah anak tersebut tidak akan bisa tumbuh dan berkembang dengan baik sebelum ia diaqiqahi.

    Sementara Mazhab Hanafi berpendapat bahwa aqiqah dibolehkan pada hari ketujuh kelahiran anak, setelah memberi nama, mencukur rambut kepala, dan membagikan sedekah. Di antara ulama mereka juga ada yang mengatakan, “Anak tersebut diaqiqahi sebagai ibadah tambahan (Tathawwu’) dengan niat bersyukur atas nikmat Allah.” (Al-Bada i’, 5/59)

    Sedangkan mazhab Maliki berpendapat, bahwa aqiqah hukumnya mandub. Hukum Mandub derajatnya berada di bawah hukum sunnah. (Syarh al-Kabir, ad-Dardir, 2/126)

    Adapun ulama fikih mazhab zahiri semisal Daud bin Ali dan Ibnu Hazm, keduanya berpendapat bahwa aqiqah hukumnya wajib. (Al-Muhalla, 6/234. Al-Majmu’, 8/447. Al-Mughni, 9/459) namun, pendapat ini tidak banyak diamalkan oleh para ulama.

    Dari keterangan di atas, dapat diketahui bahwa pendapat yang menyatakan bahwa hukum aqiqah itu sunnah muakkadah adalah pendapat yang paling banyak dipegang oleh mayoritas ulama mazhab.

    Hukum Aqiqah Menurut Pendapat Ulama Kontemporer

    Pendapat yang menyatakan bahwa aqiqah hukumnya sunnah muakkadah ternyata banyak diamalkan oleh para ulama kontemporer.

    Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid dalam fatwanya menyatakan,

    اَلْعَقِيْقَةُ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ، وَلَا إِثْمَ عَلَى مَنْ تَرَكَهَا

    “Hukum aqiqah adalah sunnah muakkadah. Sehingga, tidak ada dosa bagi mereka yang meninggalkannya.”

    Beliau berdalil dengan sebuah hadits,

    عن عمرو بن شعيب عن أبيه أراه عن جده قال : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ فَأَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْهُ فَلْيَنْسُكْ ، عَنْ الْغُلامِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ ، وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ

    Dari Amru bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, barangsiapa yang melahirkan seorang anak jika ingin mengaqiqahi, maka hendaknya mengaqiqahi. Jika anak yang lahir laki-laki, maka aqiqah dengan dua kambing. Jika anak yang terlahir perempuan, maka cukup dengan satu kambing. (HR. Abu Daud, no. 2842. Hadits ini dianggap hasan oleh al-Albani dalam kitab, shahih Abi Daud)

    Syaikh Shalih al-Munajjid menjelaskan bahwa, pada hadits tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan perintahnya dengan rasa suka/ingin untuk melaksanakan pada pelakunya. Maka ini menunjukkan bahwa hukum aqiqah hanya sekedar sunnah, tidak sampai derajat wajib.

    Namun, di sisi lain syaikh Shalih al-Munajjid memberi catatan, meskipun hukum aqiqah adalah sunnah, hendaknya umat Islam tidak meremehkan amalan mulia ini.

    Para ulama kontemporer yang tergabung dalam al-Lajnah ad-Daimah juga memfatwakan bahwa aqiqah hukumnya sunnah muakkadah, dengan ketentuan jika anak yang lahir laki-laki, maka aqiqah dengan dua kambing. Jika anak yang terlahir perempuan, maka cukup dengan satu kambing. Lalu aqiqah dilakukan pada hari ke tujuh setelah kelahirannya.

    Jika tidak bisa melaksanakan aqiqah pada hari ketujuh karena adanya faktor tertentu, maka boleh untuk melaksanakannya di hari yang lain setelahnya. Lebih utama untuk segera melaksanakannya, dan tidak berdosa jika harus mengakirkannya. (Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, 11/934) Wallahu a’lam.

    Tidak ada komentar

    Diberdayakan oleh Blogger.