Biografi Imam Syafi’i 150 H/767 M - 204 H/819 M



    1. Riwayat hidup

    Imam Syafi’i sebagai pendiri madzhab Syafi’i nama lengkapnya Muhammad bin idris al-Syafi’I al-Quraisyi. Dilahirkan didesa Gazah Pelestinapada tahun 150 H/767 M. dan ia wafat di Mesir pada tahun 204 H/819 M. silsilah ia dengan Nabi Muhammad bertemu pada datuk mereka, Abdul al-Manaf. Jelasnya adalah Muhammad bin idris bin al-‘Abbas ibn ‘Abbas ibn ‘Usman ibn Syafi’I ibn al-Syu’aib ibn ‘Ubaid ibn Ali Yazid ibn Hasyim ibn Mutalib ibn al Manaf datuk Nabi Muhammad SAW.

    Jika di lihat dari silsilah ibunya, maka Fatimah binti Abdullah bin Hasan bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Dapat diketahui bahwa dari pihak ibunya, silsilah Syafi’i juga bertemu dengan Nabi Muhammad SAW melalui Abi Thalib yang menjadi paman Nabi SAW dan kakek ke lima Syafi’i. Beberapa penulis mengatakan bahwa Syafi’i dilahirkan di Gaza, Palestina. Sedangkan sebagian yang lain mengatakan bahwa Syafi’i dilahirkan di Asqalan, tidak jauh dari Gaza. Ada juga yang mengatakan bahwa Syafi’i dilahirkan di Yaman.Ia dilahirkan pada Tahun 150 Hijriah atau 767 Masehi.

    Syafi’i ibn as-Syua’ib adalah yang menjadi nisbat al-Syafi’i ibnu as- Syus’ib bertemu Nabi pada masa kecilnya dan ayahnya masuk Islam pada saat perang badar. Jadi imam Syafi’i adalah keturunan Quraisy, tetapi ibunya bukan keturunan Quraisy tetapi berasal dari suku ‘Ad (dari yaman), bukan keturunan ‘Alawiyyah.

    Sejak dilahirkan imam Syafi’i sudah menjadi yatim, pengasuhan dan bimbingan waktu kecil adalah dibawah sang ibu. Sejak kecil imamSyafi’i sudah menampakkan kecintaan dan kecerdasan. Hal ini terlihat dengan kemampuannya menghafal al-Qur an sejak usia 7 tahun. Proses belajar pertama ia pergi kedaerah Huzail (pedalaman) merupakan tempat orang-orang yang paling ahli dalam bahasa Arab. Imam Syafi’i menimba ilmu dengan berbagai guru, baik yang berkaitan dengan Sya’ir-Sya’ir, tata bahasa mau pun sastra-sastra Arab.Maka tak heran dia sangat ahli dalam Kebahasaan Arab.

    Ketika umur Syafi’i mencapai 2 tahun, ibunya membawa keHijaz dan keQabilahnya yaitu penduduk Yaman, karena ibunya Fatimah merupakan keturunan dari suku Azdiyah dan tinggal disuku tersebut. Akan tetapi ketika umurnya mendekati usia 10 tahun, ibunya khawatir kalau nasib anaknya yang mulia dari suku Quraisy akan dilupakan dan dihilangkannya, sehingga ibunya membawa Syafi’i ke Mekkah. Perpindahan ini dilatarbelakangi oleh beberapa hal:

    a. Mekkah adalah tanah kelahiran bapak dan nenek moyang Imam Syafi’i, maka ibunya ingin anaknya dibesarkan di antara keluarga ayahnya yang mempunyai kedudukan sosial yang terpandang dan mendapat berbagai fasilitas dari Bait al-Mal, karena administrasi pemerintahan pada waktu itu memang menyediakan tunjangan khusus bagi segenap anggota keluarga Quraisy dari keturunan Hasyim dan Muthalib yaitu keluarga dekat Nabi SAW.

    b. Karena kota Mekkah merupakan tempat ‘ulama, fuqaha’, syu’ara dan udaba’ sehingga Imam Syafi’i dapat berkembang dalam bahasa arab yang murni dan mengambil cabang-cabang keilmuan yang dikehendaki. Walaupun Yaman dan Palestina itu lebih utama bagi ibunya karena daerah kaumnya yaitu Azdiyah.

    2. Pendidikannya

    Pada masa kecilnya, Syafi’i adalah seorang anak yang cerdas dan selalu giat dalam belajar. Kecerdasannya terlihat dari kemampuannya dalam menghafal dan memahami pelajaran yang diberikan lebih baik dari teman-temannya, sehingga menjelang usia sembilan tahun, Syafi’i kecil telah menghafal 30 juz al- Qur’an. Pada saat itu ia berguru kepada Ismail bin qusrhanthein.

    Setelah belajar al-Qur’an dan mengahafalnya, ia mempelajari bahasa dan sastra Arab seperti syair, puisi dan sajak Arab klasik. Untuk menguasai bahasa itu, dia pergi ke daerah tempat tinggal Bani Huzail.Hal itu dilakukannya karena kaum ini terkenal dengan bahasa Arabnya yang baik. Di sana ia juga belajar mengenai sejarah dan adat istiadat orang-orang Arab.

    Ia belajar Hadits dan fiqh dari ulama-ulama di Mekkah. Salah satu ulama yang terkenal pada masa itu adalah Imam Muslim Khalid al-Zanzi (wafat pada tahun 180 H/796 M). Selain pada Muslim, dia juga berguru pada Sofyan bin Uyainah (wafat pada tahun 198 H/813 M)29. Ia terus belajar dari ulama tersebut hingga ia dibolehkan oleh gurunya itu untuk mengeluarkan fatwa sendiri.

    Pada usia lima belas tahun, setelah Imam Syafi’i menghafal isi kitab al- Muwaththa’ karya Imam Malik, ia pergi ke Madinah dan belajar di sana. Pada umur dua puluh tahun, ia melanjutkan pelajarannya bersama Imam Malik hingga Imam Malik wafat pada tahun 179 H/ 796 M. Karena kecerdasannya, Imam Syafi’i dipercayai sebagai asisten Imam Malik untuk mendiktekan al-Muwaththa’ kepada murid-muridnya dan setelah Imam Malik wafat, beliau telah meraih reputasi sebagai seorang fuqaha yang masyhur di Hijaz dan berbagi tempat lainnya.

    Adapun guru-guru beliau yang masyhur diantaranya sebagai berikut :

    1. Di Mekkah

    a. Muslim Ibn Kholid az-Zanji

    b. Isma’il Ibn Qustantain

    c. Sufyan Ibn Uyainah

    d. Sa’ad Ibn Abi Salim al-Qoddah

    e. Dawud Ibn ‘Abd ar-Rahman al-A’tar

    f. Abd Al Hamis Ibn ‘Abd al-Aziz

    2. Di Madinah

    a. Imam Malik Ibn Annas

    b. Ibrahim Ibn Sa’ad al-Ansari

    c. Abd al-Aziz Ibn Muhammad ad-Daudi

    d. Ibrahim Ibn Abi Yahya al-Isami

    e. Muhammad Ibn Sa’ad

    f. Abd Allah Ibn Nafi’

    3. Di Yaman

    a. Matro Ibn Mazin

    b. Hisyam Ibn Abi Yusuf

    c. Umar Ibn Abi Salamah

    d. Yahya Ibn Hasan

    4. Di Iraq

    a. Waqi’ Ibn Jarroh

    b. Humad Ibn Usamah

    c. Isma’il Ibn Ulyah

    d. Abd Al-Wahab Ibn ‘Abd Al-Majid

    e. Muhammad Ibn Hasan

    f. Qodi Ibn Yusuf31

    3. Murid-muridnya

    Adapun murid-murid beliau (Imam Syafi’i) banyak sekaliantara lain :

    1. Di Makkah

    a. Abu Bakar al-Hamidi

    b. Abi Ishaq Ibrahim Ibn Muhammad al-Abbasi

    c. Abu Bakar Muhammad Ibn Idris

    d. Abul Walid Musa Ibn Abi Jarut

    2. Di Baghdad

    a. Abu ‘Ali al-Hasan as-Shobah az-Za’faroni

    b. Abu ‘Ali al-Husain Ibn ‘Ali al-Karobisi

    c. Abu Saur al-Kalbi

    d. Abu ‘Abd ar-Rahman Ahmad Ibn Muhammad Ibn Yahya al-Asy’ari al- Basri

    3. Di Mesir

    a. Harmalah Ibn Yahya Ibn Harmalah

    b. Abu Ya’qub Isma’il Ibn Yahya al-Buwaiti

    c. Abu Ibrahim Isma’il Ibn Yahya al-Muzani

    d. Muhammad Ibn ‘Abd Allah Ibn ‘Abd al-Hakam

    e. Ar-rabi’ Ibn Sulaiman Ibn Dawud al-Jauzi

    Di samping yang telah tersebut di atas, masih ada lagi murid Imam

    Syafi’i yang sangat terkenal di kalangan umat Islam dari berbagai daerah, yaitu

    Ahmad bin Hambal, yang kemudian mendirikan madzhab sendiri dengan sebutan

    madzhab Hambali.

    4. Karya-karyanya

    Kitab-kitab hasil karya Imam Syafi’i antara lain sebagai berikut :

    1. Kitab ar-Risalah

    2. Kitab al-Umm, yang didalamnya mencakup :

    a. Jima’ al-Ilmu

    b. Ibtal al-Istihsan

    c. ar-Rad ‘Ala Muhammad Ibn Hazm

    d. Siyar al-Auza’i

    e. Ikhtila al-Hadis

    f. al-Musnad

    3. Kitab Jami’ al Muzani al-Kabir, Jami’ al Muzani as-Sagir dan Muhktasar

    Imam Muzani

    4. Mukhtasar ar-rabi’

    5. Muhktasar al-Buwaiti

    6. Kitab al-Harmalah

    7. al-Amali

    8. al-Imla’

    Adapun kitab karangan Imam Syafi’i yang dikenal sebagai madzhab Syafi’i Jadid adalah meliputi empat kitab yaitu :

    a. al-Umm

    b. al-Imla’

    c. Mukhtasar al-Buwaiti

    d. Mukhtasar Muzani

    5. Metode Istinbath Hukum Imam Syafi’i

    Pegangan Syafi’i dalam menetapkan hukum adalah al-Qur’an, sunnah, ijma’dan qiyas. Syafi’i menempatkan Sunnah sejajar dengan al-Qur’an, karena menurutnya Sunnah itu menjelaskan al-Qur’an, kecuali hadits ahad tidak sama nilainya dengan al-Qur’an dan Haditsmutawatir. Di samping itu karena al-Qur’an dan Sunnah keduanya adalah wahyu, meskipun kekuatan Sunnah secara terpisah tidak sekuat seperti al-Qur’an. Artinya : “Dasar utama dalam menetapkan hukum adalah al-Qur’an dan sunnah. Apabila tidak ada dalam al-Qur’an dan sunnah, maka dengan mengqiyaskan kepada al-Qur’an dan sunnah, dan apabila sanad hadits bersambung sampai kepada Rasulullah SAW dan Shahih sanadnya, maka cukuplah baginya untuk dijadikan dalil. Ijma’ sebagai dalil adalah lebih kuat dari Khabar ahad dan hadits menurut zhahirnya. Apabila suatu mengandung arti lebih dari satu pengertian, maka arti yang zhahirlah yang utama. Kalau hadits itu sama tingkatannya, maka yang lebih shahihlah yang lebih utama. Hadits munqathi’ tidak dapat dijadikan dalil kecuali jika diriwayatkan oleh Ibnu Musayyab. Suatu pokok tidak dapat diqiyaskan kepada pokok yang lain dan terhadap pokok tidak dapat dikatakan mengapa dan bagaimana, tetapi kepada cabang dapat dikatakan mengapa. Apabila sah mengqiyaskan cabang kepada pokok, maka qiyas itu sah dan dapat dijadikan hujjah.


    Referensi:

    • Abd. Al-Rahim al-Asnawi Ijmal al-Din, Tabaqat al-Syafi’iyah, (beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1987), h. 18. 21Abdur Rahman I. Doi, Syaria’ah The Islamic Law, penerjemah: Basri IbaAsghari dan Wadi Masturi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), cet. Ke-1, h. 159. 22 M. Abu Zahrah, al-Syafi’I Hayatuhu wa Asruhu Ara’uhu wa Fiqhuh, cet. Ke-2 (Beirut: Da al-Fikr, 1948), h. 16-17.
    • Ibid, h. 17.Akan tetapi Munawwar Cholil cenderung pada riwayat yang mengatakan bahwa ibunya berasal dari keturunan ‘Alawiyah. Lihat Munawwar Cholil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, cet. Ke-9, (Jakarta : Bulan Bintang, 1955), h. 200. 24 Wahbah al-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuh, (Beirut : Dar al-Fikr, 1989), 1:35.
    • A. Nahrawi A.S. al-Imam al-Syafi’I fi Mazahibihi al-Qadim wa al-Jadid, diterbitkan oleh pengarangnya untuk kalangan terbatas, 1994, hlm. 29. Dan Ali Yafie. Mwnggagas Fiqih Sosial, (Bandung: Mizan, 1995), h.40. 26Muhammad Bahri Ghazali, Djumadris, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), cet. Ke-I, h.70. 27Ibid.,h.71.
    • Abdul Aziz Dahlan dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1977), jilid V, h.1680. 29 Abdurrahman I. Doi, op.cit.,h.160. 30 T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), cet. Ke-6, h.103.
    • Syeikh Muhammad Abu Zahroh, As-Syafi’i, Mesir: Darul Fikri, h. 43-44
    • Ibid.
    • Ar Risalah merupakan kitab Imam Syafi’i yang pada mulanya adanya perintah dari Abdur Rahman bin Al Mahdi seorang ahli hadits terkemuka dimasannya. Kitab ini berisi tentang ilmu pengetahuan mengenai ushul fiqh yang merupakan bagian dari permulaan kitab-kitab fiqh.(KH. Munawar Kholil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, Jakarta : Bulan Bintang, Cet. II, h. 241- 243). 34Kitab tersebut merupakan kitab fiqh yang besar yang tidak bandingnya pada masa itu. Pembahasan fiqh dalam kitab ini didasarkan pada al Qur’an, al Hadits, al Ijma’, dan al Qiyas. (Ibid.)
    • Ijma’ adalah kesepakatan dari para mujtahid umat Islam pada satu masa tentang hukum syara’.Qiyas adalah memberlakukan ketentuan hukum yang ada pada pokok (asal) kepada cabang (persoalan baru yang tidak disebutkan nash) karena adanya pertautan ‘illat keduanya. Hudhari Biek, Ushul Fiqih, Penerjemah: Zaid. H. Alhamid, (Pekalongan: Raja Murah, th), h. 111, 137. 
    • Hadits ahad menurut istilah Syafi’i adalah setiap hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW oleh seorang, dua orang atau sedikit lebih banyak dan belum mencapai syarat hadits masyhur. Sedangkan hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tidak mungkin sepakat untuk berbohong, dengan perawi yang sama banyaknya sehingga sanadnya bersambung sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Lihat Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Penerjemah: Saefullah Ma’shum, dkk, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), cet. Ke-6, h. 154-156.
    • Hadits munqathi’ atau hadits mursal adalah hadits yang sanadnya tidak bersambung kepada Nabi Muhammad SAW. Muhammad Abu Zahrah, op. Cit., h. 159. 38 Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam: Studi Tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), cet. Ke-1, h. 31-32

    Tidak ada komentar

    Diberdayakan oleh Blogger.